Saturday, November 12, 2011

Wordpress, wordpress, wordpress...




Sudah beberapa minggu dari rencana awal: men-demolish blog ini. Tapi nggak pernah tega. Soalnya kenangan bersamanya sungguh indah. Hohoho…

Simpelnya, blog ini tidak bisa dibaca dari mobile device. Berbeda dengan wordpress. Karena itu? Ya, hanya karena itu. Sungguh alasan yang tidak bisa disebut sebagai alasan.

Sebenarnya tidak juga, karena wordpress menawarkan berbagai hal yang tidak ditawarkan oleh blogger, kecuali satu. Follower.

Karena blog bukan Facebook atau Twitter…

Ya, terserahlah. Toh jika aku menyuruh orang-orang ramai-ramai pindah ke wordpress, mereka juga tidak akan mendengar. Alif Rahmadanil, saudara IQ ku yang gejeme, berlemak, dan lainnya (afwan ^^v) pun membuat blognya di blogger. Ternyata, aku melawan arus perubahan zaman! Ya sudahlah, lupakan saja…

Ya sudah, karena aku terlalu jatuh hati dengan wordpress dan kenangan di blog ini, aku posting di dua-duanya aja deh.. blog ini ga jadi di-demolish. Puas, puas? (peace ^^v)

Tapi, tetap saja, wordpress tetap yang terbaik…. J

Saturday, September 17, 2011

さようなら. Selamat Tinggal...

Tidak terasa, hampir satu tahun (mungkin lebih) blog ini diurus. Banyak suka dukanya. Mulai dari saat dimana lagi semangat-semangatnya nulis sampai udah dua bulan ga pernah dibuka. Dan sampailah saatnya, dimana seseorang harus pergi, karena kita memang harus pergi. Tak mungkin terus berdiam diri disini, sampai mati. Saya memohon maaf jika ada salah kata atau postingan yang membuat dendam di hati. Mungkin, inilah posting terakhir saya sebelum migrasi ke domain yang lebih baru. Sungguh, blog ini benar-benar berarti untuk saya, karena saya telah membuatnya semenjak SMA sembari belajar. Ya, waktu harus berlalu, dan semua pasti ada akhirnya...

Terima kasih, telah menjadi tempatku berbagi selama ini. Maaf jika ada salah dan khilaf di diri ini...

Assalamu'alaikum wr. wb.

さようなら。。。


(Disclaimer: Dengan ini, semua aktivitas di blog ini "http://muslim-aldebaran.blogspot.com" secara formal telah berakhir.  Akan tetapi, blog ini tidak akan dihapus dalam waktu dekat dengan beberapa pertimbangan. Untuk selanjutnya, teman-teman bisa follow blog saya yang lain di wordpress, link terlampir di bawah. Sekali lagi, terima kasih, telah menjadi tempatku berbagi...)

(silahkan klik gambar diatas untuk direct link ke blog baru saya)

Tuesday, August 16, 2011

Polisi dan Militer Negeri Ini: Sebuah Refleksi 65 Tahun Polri

Jika kita berbicara tentang polisi semasa kecil kita, hal pertama yang terbayang adalah seseorang dengan baju cokelat dan topi khasnya. Sebuah profesi yang selalu dilantunkan oleh suara-suara kecil di ruangan kelas, selain dokter dan lainnya. Seseorang yang berjuang tanpa kenal lelah, mengayomi masyarakat yang ada di sekitarnya. Tetapi, seiring berjalannya waktu, paradigma itu seakan berubah, dari sesuatu yang tanpa cela menjadi penuh dengan noda. Tentu bukan tanpa alasan, mengingat banyaknya pemberitaan miring terkait mereka akhir-akhir ini. Dari sekadar pungutan liar yang dilakukan segelintir oknum hingga yang terbaru, kasus iPad dan tabrakan yang melibatkan personel polwan. Seakan menambah daftar hitam keburukan-keburukan yang telah mereka lakukan selama ini.

Militer dan Arogansi Penguasa

Jika kita kembali berkaca pada tempoe doeloe, tepatnya pada zaman revolusi fisik, peran polisi tidak bisa dipandang sebelah mata. Terlalu bodoh melupakan peranan mereka dalam setiap pertempuran, baik dalam kontak senjata dengan pasukan penjajah atau sekadar melindungi suatu perkampungan dari penjarahan. Sembari berjalannya waktu dan pola perjuangan telah mulai berubah, kepolisian mulai berbenah, baik dalam tingkat struktural maupun lainnya. Walaupun berkembang saat Indonesia berada dalam periode sulit, mereka mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, terbukti dengan kemenangan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar dan mengakhiri nafsu pasukan-pasukan asing untuk kembali menguasai Indonesia. Andai saja polisi saat itu gagal mempertahankan wilayah-wilayah yang diamanatkan kepada mereka, tentu sejarah negeri ini akan jadi lain.

Masalahnya, penurunan kinerja kepolisian (dan militer secara umum) dimulai justru ketika Indonesia telah lepas dari belenggu itu. Dimulai dari era Demokrasi terpimpin, dimana saat itu Polri (yang masih bergabung dengan ABRI) mulai dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan para penguasa. Hal ini semakin kental dengan beralihnya sistem kekuasaan, dari orde lama menuju orde baru. Kita tentu masih ingat dengan tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah dengan militer sebagai alatnya, tak terkecuali Polri. Aspirasi rakyat dikekang dengan arogansi pihak penguasa yang tetap ingin zona nyamannya terusik. Puncaknya, reformasi pun pecah, mengorbankan empat mahasiswa sebagai tumbal atas keras kepalanya penguasa negeri ini, selain ratusan orang yang tewas dan hilang selama 32 tahun orde baru berkuasa.

Ironisnya, reformasi yang idealnya merupakan momentum tepat untuk melakukan perubahan menyeluruh di tingkat militer justru kembali dijadikan sarana untuk menggapai puncak kekuasaan. Memang, kalangan yang disorot bukan dari kepolisian, tetapi mereka tentu punya andil dalam fenomena ini walau sedikit. Hingga saat ini. Masih banyak kasus-kasus yang menarik pemberitaan dan menguras energi nasional yang seharusnya merupakan kasus kecil dan sepele. Namun, karena penanganan yang salah, kasus itu menimbulkan ketidakpuasan dan menyita perhatian publik. Hal ini jelas akan memengaruhi kinerja Polri sendiri, dimana pada suatu sisi mereka dituntut untuk menyelesaikan kasus tersebut secepatnya, sedangkan tekanan dan intervensi dari berbagai pihak terus berdatangan. Alhasil, sering sekali kasus-kasus seperti ini menjadi berlarut-larut dan agenda-agenda yang jauh lebih penting menjadi terlupakan. Bahkan, ada beberapa pihak yang menjadikanya sebagai pengalihan isu dan pencitraan belaka.

Jadi, bagaimana?

Introspeksi Diri

Ada sesuatu yang menarik pada Peringatan 65 Tahun Polri beberapa waktu yang lalu. Berbagai media memberitakan tentang perayaan sederhana yang dianggap merupakan tonggak awal bagi kepolisian yang lebih baik ke depannya. Sayangnya, citra baik itu segera luntur ketika kasus iPad mulai merebak di media massa. Sungguh ironis, terlebih ketika dasar hukum yang mengatur peredaran barang yang harus memuat manual book berbahasa Indonesia dipublikasikan (Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 22/M-DAG/PER/5/2010), kalangan akar rumput mengolok-olok dengan barang-barang yang ada di peraturan tersebut. Wajar, karena polisi bisa menangkap orang yang menjual kipas angin tanpa manual.

Keadaan ini semakin diperparah dengan ulah salah satu anggota polwan yang melaporkan salah satu wartawan media cetak dengan alasan penganiayaan, padahal kasus penabrakan yang terjadi sebelumnya sama sekali tidak diusut. Hal ini patut menjadi perhatian bersama, karena jika polisi tidak lagi mendapatkan kepercayaan oleh rakyat, bukan mustahil akan terjadi people power secara besar-besaran, seperti kasus cicak versus buaya terdahulu.

Hal-hal diatas tidak perlu terjadi jika polisi kembali pada landasan dasarnya: mengayomi rakyat. Profesionalisme polisi yang saat ini sering sekali diabaikan perlu kembali ditegakkan. Selain itu, keterlibatan dengan pihak penguasa yang sering sekali terlihat akhir-akhir ini juga harus dihentikan. Jangan sampai agenda-agenda yang telah direncanakan menjadi berantakan dengan arus kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Polisi juga harus mawas diri, siap dikritik dan menerima masukan andai diperlukan. Pembenahan , baik internal maupun eksternal, mutlak dilakukan guna kinerja kepolisian yang lebih baik ke depannya.

Akhirnya, selamat ulang tahun yang ke-65, polisiku yang terhormat. Selamat bertugas. Doa kami menyertaimu!

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Korespondensi bisa dilakukan via email ke laskar_jidad@yahoo.co.id.