Thursday, November 11, 2010

Sebuah Catatan Tiga Tahun Pertemuan Kita

saudaraku
sudah 3 tahun kita menjalin ukhuwah suci
sudah 3 tahun kita berjanji, satu dalam sepi
sudah 3 tahun kita merajut asa dalam kebersamaan
sudah 3 tahun kita bersama, berbagi cerita dalam kesedihan dan kebahagiaan

ya, itu sedikit rangkaian kata yang bisa kutulis sebagai awal kata-kataku. sudah 6 bulan kita tidak bertemu lagi. sudah 6 bulan kita kehilangan nasi goreng di pagi hari, sudah 6 bulan kehilangan sandal yang putus dan hilang ketika lari pagi, sudah 6 bulan kehilangan tekong susu (walaupun susudah diestimasi tepatnya sudah 2 tahun). dan sudah 6 bulan, kita merajut suatu janji, dan semua itu tidak akan jauh-jauh dari suatu orbit dan 60 bintangnya. sudah 6 bulan kita berjanji, kita akan menjadi lentera bagi ibu pertiwi dan berkumpul, kelak, di surga-Nya. amin...

ya, sudah 6 bulan. itu adalah kata-kata yang selalu terngiang-ngiang di benakku. dalam sepi pernah kutanyakan, sudah 6 bulan aku berpisah. sudah 6 bulan aku tidak bertemu mereka semua. telah 6 bulan aku merajut janji, tapi semua itu, terutama yang terakhir, terkadang selalu membuatku gelisah, tak bisa tidur, membuat refluks gastric acid pada esophagus yang memicu "pain" pada thoraks dan sempat dicurigai sebagai atherosklerosis (baca: GERD, walaupun bukan itu penyebab utamanya, tapi kata dokternya sih ada hubungannya dengan beban mental seperti itu -_-). ya, sudah 6 bulan aku berjanji, tapi, apakah yang kulakukan? tidak tahu. dulu saat di kelas aku pernah berteriak lantang di hadapan dosen dan rekan sejawat, "inilah aku. aku disini dan aku akan mengubah dunia!"

sepintas memang mudah diucapkan, tapi sekarang, sungguh saudaraku, itu menjadi beban mental tersendiri bagiku. mengubah dunia, seperti yang Ibnu Sina pernah lakukan. menyamakan diri, walaupun dengan Adolf Hitler saja, sungguh berat. jangankan dengan paman berkumis itu, bertemu dengan saudara-saudaraku di Palestina dan Afghan saja sudah membuatku malu.

menjadi mahasiswa, ya, inilah kita. sudah kira-kura 4 bulan kita sandang status ini. mungkin masih ada di antara kita yang masih bangga dengan almamater kita, jurusan kita, dan lainnya. tapi, ingatlah saudaraku, di tengah itu semua, ada satu harapan dari mereka yang kini turun di tengah jalan. yang rumahnya digusur karena alasan mau membuat mall. yang dipenjara hanya karena mengambil tiga butir cokelat. YANG DIBEBASKAN KARENA MEREKA MAKAN UANG RAKYAT. sama ketika kita mulai merajut mimpi 3 tahun lalu, ada banyak harapan dari mereka yang berjualan di pasar, mereka belum tentu akan hidup dari hasil dagangannya, tetapi telah lebih dahulu berkorban. untuk kita, khususnya 60 anak ini yang saat ini mulai dikenal dan akan menjadi pewaris peradaban ini...

saudaraku, ingatlah. dalam setiap kemampuan besar tertanggung amanat dan tanggung jawab besar. tapi, sadarkah kita? kemampuan kita ternyata lebih besar dari yang kita perkirakan. dan ingatlah saudaraku, tanggungjawab itu menjadi lebih besar. dan tanggung jawab itu kini tak lagi untuk bangsa ini, tapi lebih besar lagi! UNTUK ISLAM DAN KEJAYAANNYA! UNTUK DUNIA INI! ITULAH TANGGUNG JAWAB KITA SESUNGGUHNYA SAUDARAKU!!!

inilah akhir dari kata-kataku. sebelum hari ini berakhir karena aku tak yakin nyawaku tak putus esok hari, kusisipkan sebuah doa untukmu, saudaraku..

"semoga kita dapat berjumpa kelak di surga-Nya. amin..."
(selamat milad saudaraku. sampai berjumpa 4, 5, atau 6 tahun lagi, namun bukan sebagai saudara, tetapi sebagai pengubah dunia. amin...)

alhamdulilah, bisa posting lagi...

Friday, September 24, 2010

Sebuah Catatan Enam Bulan: Asrama dan Mimpi Kita

Saya masih teringat apa yang bapak Hendrison katakan kepada salah satu saudara saya, Mentari Halimun, "bapak yakin, kalian bisa istiqamah" ketika ditelepon olehnya. Ketika mengetahui bahwa Mentari menelepon Pak Son pagi itu, saya sejenak terdiam, duduk, dan termenung, seraya mengingat-ingat kejadian penting yang terjadi sekitar enam bulan lalu.

Saat itu, ketika hari terakhir kami di asrama,  masih teringat jelas, betapa hati kami pilu. Memang, saat itu adalah awal dari kuasar hitam yang kelak akan memecah belah enam puluh bintang dari orbitnya. Saat dimana perjuangan tiga tahun telah selesai dan menunggu waktu, saat dimana persiapan masa depan akan diuji, saat dimana nikmat-nikmat yang tidak bisa dirasakan oleh orang-orang kebanyakan terputus, dan saat dimana kita sekarat: menunggu hidup dan matinya iman kita dalam suatu ketidakpastian. Namun, yang jelas, enam puluh bintang itu telah berjanji, mereka, walaupin tidak membentuk galaksi lagi, kelak akan memancarkan cahaya yang demikian terang, terang seterang-terangnya, agar bintang yang lainnya tahu, mereka disana, mereka bersinar, dan mereka akan berteriak, inilah saya, saya disini, dan saya akan guncang dunia ini!

Dan mereka pun berdoa agar dikumpulkan kelak di Surga-Nya...

Para bintang itu memang belum sepenuhnya tercerai. Mereka tampak terpisah, namun sebenarnya masih tersatu oleh satu ikatan rapuh: bimbingan belajar. Atau mungkin sebaiknya kalimat terakhir ini direvisi: mereka tampak masih tersatu, namun sebenarnya terpisah, karena mulai ada bintang-bintang yang, walaupun pelan, tapi pasti, telah meninggalkan orbit lamanya menuju orbit baru yang telah lama diimpikannya. Orbit baru itu terlihat sangat keren, ada yang seperti makara kuning, ada yang bergambar seperti bintang, pohon, bahkan ada yang seperti gajah. Unik bukan?

Dan saat kemenangan pun tiba...

Walaupun tidak bisa dikatakan kemenangan 100%, karena pada kenyataannya, masih ada yang gagal mencapai impiannya, tetap saja bisa disebut kemenangan, karena tahun ini para bintang itu berhasil memasuki orbit-orbit baru yang bergengsi. Dan sekarang, para bintang itu, bisa dikatakan telah resmi 90% tercerai. Kenapa 90%? Ternyata, ada beberapa bintang yang gravitasinya luar biasa, sehingga masih bisa bersatu. Contohnya saja di orbit makara. Tak kurang dari 25 bintang berkumpul di sana, walaupun di makara sendiri ada 12 suborbit, dan 2 diantara suborbit itu sendiri terpisah sangat jauh (dan ironisnya, kenapa penulis yang tersesat di sana?).

Namun, apakah yang terjadi saat mereka kini?

Entahlah...

Penulis sendiri ragu. Penulis sendiri yakin, mungkin ada dari beberapa bintang yang telah mati semangat keistiqamahannya, walaupun dalam hati penulis tidak ingin seperti itu. Tapi, pasti ada yang telah tererosi dari bintang-bintang itu. Penulis hanya berharap,

Apakah para bintang itu akan terus bersinar?
Apakah para bintang itu akan terus istiqamah dan menjaga imannya?
Apakah para bintang itu akan terus mewarnai dunia?


(Kutulis saat matahari mulai memancarkan sinarnya)