Reformasi. Sembilan huruf. Satu kata. Bisa diletakkan pada kalimat-kalimat yang bertujuan untuk menghina anggota dewan. Benar, hanya satu kata, tapi takkan cukup sebulan waktu kita untuk membahas satu kata itu.
Reformasi. Satu kata yang mengkristalisasi aspek perjuangan terpenting bangsa ini tiga belas tahun silam. Setidaknya darah para mahasiswa dan pemuda yang tewas ditembak pada tahun itu tidak sia-sia, karena jika tidak saya bahkan belum tentu bisa menulis di kolom ini. Tapi, andai Soe Hok Gie bangkit dari kuburnya, tentu ia akan merasa terasing sekali lagi, karena masih banyaknya agenda-agenda reformasi yang masih belum terjamah (baca: ditelantarkan) saat ini.
Secara ironis, jangankan agenda reformasi yang belum tuntas, penyelesaian kasus kekerasan saat reformasi saja belum menemui hasil yang pantas. Sebut saja korupsi, buruknya kinerja pemerintah, transparansi yang belum transparan, dan penyalahgunaan wewenang. Bahkan, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum reformasi saja masih belum memberikan hasil yang memuaskan.
Sebuah akhir, atau sebuah awal?
Menurut etiologi, reformasi sendiri berarti berubah. Secara halus, berarti perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara (KBBI). Jika kita menilik apa yang terjadi 13 tahun silam, penempatan kata “reformasi” mungkin sudah tepat. Namun, jika kita melihat kondisi yang terjadi saat ini, apakah penempatan kata “reformasi” masih relevan?
Reformasi ditandai dengan perubahan secara menyeluruh dalam waktu singkat. Hal ini dimanifestasikan dalam enam agenda: penegakan supremasi hukum; pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya; amandemen konstitusi; pencabutan dwifungsi TNI/Polri; serta pemberian otonomi daerah seluas- luasnya. Sayangnya, masih ada dua agenda yang belum tertuntaskan hingga saat ini, yakni penegakan supremasi hukum dan pemberantasan KKN. Bahkan, proses pengadilan kroni-kroni Soeharto pun seakan berjalan setengah hati.
Ironisnya, agenda ini justru dimanfaatkan sebagai propaganda dalam pemilihan presiden lima tahun silam. Reformasi seakan menjadi dagangan yang laris manis dalam menarik simpati rakyat. Bahkan, Indra J. Piliang dalam catatan kritisnya terhadap pemilu 2004 (Kursi RI-1 untuk Apa, Jenderal? Kompas) menyorot kembalinya elite politik dari kalangan militer. Lebih jauh, catatan itu juga mengkritisi pola pikir para jenderal yang masih terkungkung dalam batasan orde baru.
Menarik untuk dicermati, mengingat peran para tokoh tersebut saat ini (SBY dan Wiranto, red). SBY masih mencerminkan karakter ketika Soeharto lengser: tenang, main aman, dan seakan sangat berhati-hati dengan tindakan yang diambilnya. Wiranto pun sama saja: mencitrakan diri sebagai korban dalam reformasi ini. Yang menjadi masalah adalah jika para tokoh tersebut masih mengurung pemikirannya sendiri dengan konteks pikir orde baru, sedangkan tuntutan zaman mengharuskan pemikiran kritis sebagai salah satu solusi penyelesaian polemik bangsa. Dampaknya jika diuraikan satu per satu tentu akan banyak sekali.
Namun, dampak terbesar dari pola pikir itu adalah inkonsistensi pada cita-cita reformasi itu sendiri. Salah satu buktinya adalah politik pencitraan. Tak perlu dijelaskan soal ini. Yang jelas, pencitraan, yang jelas-jelas berorientasi pada pengakuan luar negeri dan perolehan simpati dari negara-negara adidaya, sedikit banyak akan memengaruhi agenda reformasi. Dengan pencitraan (yang notabene adalah penonjolan kinerja positif dari suatu pemerintahan), otomatis lingkup kerja pemerintah akan sangat terbatas dan tidak berani mengambil langkah-langkah tidak populer yang seharusnya bisa digunakan untuk tujuan reformasi. Pemerintah tidak akan berani menyidangkan kroni-kroni Soeharto jika itu berarti kehilangan pentas dalam panggung politik dan kehilangan kawan-kawan dalam koalisi.
Jadi, apakah reformasi itu adalah akhir dari kekuasaan orde baru, atau sebuah awal bagi dinasti politik selanjutnya (yang tetap membawa ciri khas orde baru)?
Introspeksi diri
Manusia itu unik, bahkan dari aspek perkembangannya saja. Pada masa awal kelahiran, kehidupan manusia sangat kritis; ia memerlukan bantuan dari orang-orang di sekelilingnya untuk bertahan hidup. Jika dibiarkan beberapa hari saja tanpa perlindungan, ia akan mati. Semakin dewasa, ia mulai belajar untuk mandiri dan berkembang sesuai apa yang ia terima sejak lahir. Dan ketika ia dewasa, kita bisa menyimpulkan dengan jelas, bagaimana perlakuan pada masa kritis sangat memengaruhi perkembangan mereka.
Demikian juga dengan reformasi. Apa yang terjadi sekarang adalah apa yang kita tanam 13 tahun silam. Tetapi, masih belum selesainya agenda reformasi yang digadang-gadang akan selesai beberapa tahun sebelumnya tentu bukan 100 persen kesalahan pemerintahan saat ini. bisa jadi karena kondisi yang tidak memungkinkan, seperti resesi ekonomi dunia, aksi teror, dan tekanan dari asing.
Walaupun demikian, alangkah baiknya jika setiap pihak mengintrospeksi diri mereka. Sering kita temui debat kusir yang hanya mementingkan kepentingan golongan atau partai tanpa mementingkan aspek terbesar yang ada di negeri ini: rakyat. Bangsa ini sudah terlalu muak dengan lelucon-lelucon khas Senayan, seperti gagalnya penyelesaian 70 RUU prioritas, pembangunan gedung, pengerdilan KPK yang justru dibuat untuk melaksanakan agenda reformasi terpenting, pemberantasan KKN. Rakyat juga harus berperan aktif dalam pengawasan kinerja pemerintahan yang notabene dipilih oleh mereka sendiri. Jangan sampai negara ini dibawa menuju kepentingan suatu kelompok hanya karena kurangnya pengawasan dari rakyat itu sendiri.
Akhirnya, selamat ulang tahun ke-13 reformasiku sayang, semoga semakin banyak anggota dewan yang bangun saat sidang, semakin banyak menteri yang sadar di mana mereka berdiri, dan semakin banyak pula pejabat yang tidak lagi makan uang rakyat. Amin…
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Korespondensi bisa dilakukan via email ke laskar_jidad@yahoo.co.id.
Wednesday, June 29, 2011
Tuesday, June 7, 2011
Small
Suatu ketika, hiduplah seorang pengemis yang sangat miskin. Ia tidak mempunyai apa-apa yang bisa dibanggakan selain baju yang melekat pada dirinya. Bahkan, untuk berjalan jauh pun ia tidak sanggup. Alhasil, di tengah keputusasaannya, ia berdoa kepada Tuhan untuk memperbaiki nasibnya. Saat tidur, ia diberi tahu untuk memberikan apa saja yang ia punya dengan ikhlas kepada setiap orang yang membutuhkanya. Sang pengemis tentu terkejut, karena ia bahkan tidak punya sesuatu untuk diberikan. Lantas, ia terbangun, dan melihat seikat kecil jerami dengan seekor tawon bermain-main diatasnya. Ia pun mengambil jerami itu dan berharap ia bisa memberikannya pada orang yang membutuhkan.
Lalu, ia pun berjalan. Kemudian, ia menemukan seorang anak kecil yang terus menangis. Ibunya tidak bisa menenangkannya. Lalu sang pengemis datang, memberikan jerami tadi kepada anak itu, dan ia pun berhenti menangis. Sang ibu yang sangat bahagia tidak bisa berucap apa-apa. Lantas, sang ibu pun memberinya beberapa tamarin (permen yang agak asam, berguna saat haus) dan berterima kasih kepadanya.
Sang pengemis yang kehilangan jerami kini punya beberapa tamarin. Ia bingung, karena ia sangat lapar, sementara ia harus memberi tamarin itu. Singkat cerita, ia bertemu dengan seorang saudagar yang kehausan, memberikan tamarin itu, dan sang saudagar yang kehausan itu memberinya selembar sutra yang amat indah. Ya, satu benda lagi untuk diberikan.
Lalu, ia pergi ke kota dan melihat seekor kuda yang akan dibunuh oleh majikannya. Merasa iba dengan perlakuan kejam ini, sang pengemis menawarkan selembar sutra tadi dan menukarkannya dengan kuda tadi. Karena kuda tadi tidak terlalu sehat, ia membawanya ke sungai dan berusaha keras untuk menyelamatkan jiwanya. Alhasil, beberapa waktu kemudian sang kuda telah cukup sehat dan bisa melakukan perjalanan jauh sebagaimana yang ia inginkan.
Ia berjalan dan terus berjalan dengan kuda itu. Di suatu tempat, ia melihat seseorang yang ingin melakukan perjalanan, tapi tidak memiliki kendaraan. Ia meminta agar pengemis tadi mau memberikan kudanya. Sang pengemis tentu sangat ragu, karena kuda ini begitu berharga dan perlu banyak pengorbanan untuk mendapatkannya. Tapi, salah satu sisi dari dirinya mengatakan, ia harus memberi kuda itu. Sang pengemis tadi akhirnya merelakan kudanya untuk diberikan pada musafir tadi, dan tahukah anda? Ya, sang musafir menawarkan kediamannya yang sangat mewah untuk ditempati sang pengemis tadi, karena ia akan melakukan perjalanan jauh yang mungkin tidak pernah lagi kembali ke tempat ini. Subhanallah…
***
Seikat jerami. Ya, hanya seikat jerami. Dan jika kita mau berpikir kritis, fabel One Straw Millionaire yang amat populer di Jepang ini hanya sebuah dongeng. Ya, hanya dongeng. Tak akan pernah jadi nyata dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dan suatu kebodohan jika kita percaya kepadanya…
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 261)
Dan siapa yang berani menjamin, bahwa ayat diatas hanya senda gurau belaka?
***
Ada salah satu quote yang sangat menarik dari salah satu anime favorit saya:
"There’s no need to save something as exaggerated as the entire world. But, if you can save someone dear to you, even a single person, then, that’s more than enough."
Tetapi, tentu, sebagai muslim yang baik, kita ingin lebih dari itu, bukan?
***
Terkadang kita selalu remeh akan hal-hal kecil yang ada di sekitar kita. Sehelai kertas yang ada di tengah jalan, batu yang mungkin akan sangat sakit jika tidak sengaja tersandung padanya, atau mungkin koin 500-an yang ada di tepi jalan. Ya, benar, sungguh remeh. Tidak bisa dibandingkan dengan jihad di Palestina, mendirikan khilafah, atau sekadar haji ke Baitullah. benar, memang remeh, apalagi jika dibandingkan dengan Bilal yang masuk surga karena wudhu’nya, seorang pembunuh 100 orang yang diampuni dosanya karena hanya berniat untuk taubat, atau seorang pelacur yang memberi minum seekor anjing, salah satu makhluk yang sangat najis hingga harus dicuci dengan tanah. Masya Allah…
Dan sekarang, dimanakah kita?
***
Kita kadang terlalu sombong untuk ini. terlalu nafi jika kita menganggap diri ini sudah sempurna, bahkan untuk hal-hal kecil tadi. Kita selalu terpaku dengan obsesi besar kita. Menjadi seorang dokter yang dikenal masyarakat, menjadi pemimpin bangsa ini, avant garde reformasi, atau lainnya. Tanpa pernah sadar, tak pernah sadar, betapa hinanya diri ini ketika memandang mereka. Kita terlalu silau dengan gemerlap ide-ide besar, hingga melupakan amalan-amalan kecil yang justru mengantarkan para sahabat ke tempat yang siapapun pasti akan merindukannya. Bahkan Allah tak segan mengambil perumpamaan seekor nyamuk atau laba-laba, padahal mereka sering kita anggap hina, tidak berguna, dan menyusahkan, padahal kita belum tentu bisa berdzikir seperti mereka.
Astaghfirullah… lupa dengan diri ini…
(sebuah renungan di akhir hari)
Lalu, ia pun berjalan. Kemudian, ia menemukan seorang anak kecil yang terus menangis. Ibunya tidak bisa menenangkannya. Lalu sang pengemis datang, memberikan jerami tadi kepada anak itu, dan ia pun berhenti menangis. Sang ibu yang sangat bahagia tidak bisa berucap apa-apa. Lantas, sang ibu pun memberinya beberapa tamarin (permen yang agak asam, berguna saat haus) dan berterima kasih kepadanya.
Sang pengemis yang kehilangan jerami kini punya beberapa tamarin. Ia bingung, karena ia sangat lapar, sementara ia harus memberi tamarin itu. Singkat cerita, ia bertemu dengan seorang saudagar yang kehausan, memberikan tamarin itu, dan sang saudagar yang kehausan itu memberinya selembar sutra yang amat indah. Ya, satu benda lagi untuk diberikan.
Lalu, ia pergi ke kota dan melihat seekor kuda yang akan dibunuh oleh majikannya. Merasa iba dengan perlakuan kejam ini, sang pengemis menawarkan selembar sutra tadi dan menukarkannya dengan kuda tadi. Karena kuda tadi tidak terlalu sehat, ia membawanya ke sungai dan berusaha keras untuk menyelamatkan jiwanya. Alhasil, beberapa waktu kemudian sang kuda telah cukup sehat dan bisa melakukan perjalanan jauh sebagaimana yang ia inginkan.
Ia berjalan dan terus berjalan dengan kuda itu. Di suatu tempat, ia melihat seseorang yang ingin melakukan perjalanan, tapi tidak memiliki kendaraan. Ia meminta agar pengemis tadi mau memberikan kudanya. Sang pengemis tentu sangat ragu, karena kuda ini begitu berharga dan perlu banyak pengorbanan untuk mendapatkannya. Tapi, salah satu sisi dari dirinya mengatakan, ia harus memberi kuda itu. Sang pengemis tadi akhirnya merelakan kudanya untuk diberikan pada musafir tadi, dan tahukah anda? Ya, sang musafir menawarkan kediamannya yang sangat mewah untuk ditempati sang pengemis tadi, karena ia akan melakukan perjalanan jauh yang mungkin tidak pernah lagi kembali ke tempat ini. Subhanallah…
***
Seikat jerami. Ya, hanya seikat jerami. Dan jika kita mau berpikir kritis, fabel One Straw Millionaire yang amat populer di Jepang ini hanya sebuah dongeng. Ya, hanya dongeng. Tak akan pernah jadi nyata dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dan suatu kebodohan jika kita percaya kepadanya…
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 261)
Dan siapa yang berani menjamin, bahwa ayat diatas hanya senda gurau belaka?
***
Ada salah satu quote yang sangat menarik dari salah satu anime favorit saya:
"There’s no need to save something as exaggerated as the entire world. But, if you can save someone dear to you, even a single person, then, that’s more than enough."
Tetapi, tentu, sebagai muslim yang baik, kita ingin lebih dari itu, bukan?
***
Terkadang kita selalu remeh akan hal-hal kecil yang ada di sekitar kita. Sehelai kertas yang ada di tengah jalan, batu yang mungkin akan sangat sakit jika tidak sengaja tersandung padanya, atau mungkin koin 500-an yang ada di tepi jalan. Ya, benar, sungguh remeh. Tidak bisa dibandingkan dengan jihad di Palestina, mendirikan khilafah, atau sekadar haji ke Baitullah. benar, memang remeh, apalagi jika dibandingkan dengan Bilal yang masuk surga karena wudhu’nya, seorang pembunuh 100 orang yang diampuni dosanya karena hanya berniat untuk taubat, atau seorang pelacur yang memberi minum seekor anjing, salah satu makhluk yang sangat najis hingga harus dicuci dengan tanah. Masya Allah…
Dan sekarang, dimanakah kita?
***
Kita kadang terlalu sombong untuk ini. terlalu nafi jika kita menganggap diri ini sudah sempurna, bahkan untuk hal-hal kecil tadi. Kita selalu terpaku dengan obsesi besar kita. Menjadi seorang dokter yang dikenal masyarakat, menjadi pemimpin bangsa ini, avant garde reformasi, atau lainnya. Tanpa pernah sadar, tak pernah sadar, betapa hinanya diri ini ketika memandang mereka. Kita terlalu silau dengan gemerlap ide-ide besar, hingga melupakan amalan-amalan kecil yang justru mengantarkan para sahabat ke tempat yang siapapun pasti akan merindukannya. Bahkan Allah tak segan mengambil perumpamaan seekor nyamuk atau laba-laba, padahal mereka sering kita anggap hina, tidak berguna, dan menyusahkan, padahal kita belum tentu bisa berdzikir seperti mereka.
Astaghfirullah… lupa dengan diri ini…
(sebuah renungan di akhir hari)
Sunday, June 5, 2011
Waktu
Sudah lama tidak menulis. Ya, benar. Seribu satu kesibukan telah melanda, hingga membuka blog ini saja sudah tidak sempat. Ya, jadi terpikir, inikah berharganya sebuah waktu?
Dan hanya mengingatkan saja
dengan waktu yang ada sat ini saja, kita sudah terlalu sibuk dengan dunia ini
lantas, bagaimana dengan bekal kita?
Ya, kita mungkin dengan mudah mengatakan, waktu untuk dunia saja tidak cukup, apalagi untuk akhirat...
tapi, ingatlah saudaraku...
kelak, jika sang waktu benar-benar telah meninggalkan kita...
ia akan menjadi saksi atas ucapan itu...
#muhasabah
Dan hanya mengingatkan saja
dengan waktu yang ada sat ini saja, kita sudah terlalu sibuk dengan dunia ini
lantas, bagaimana dengan bekal kita?
Ya, kita mungkin dengan mudah mengatakan, waktu untuk dunia saja tidak cukup, apalagi untuk akhirat...
tapi, ingatlah saudaraku...
kelak, jika sang waktu benar-benar telah meninggalkan kita...
ia akan menjadi saksi atas ucapan itu...
#muhasabah
Subscribe to:
Posts (Atom)