Friday, April 15, 2011

Sekolah Pemimpin

HARI itu cerah. Mentari memancarkan sinarnya di pagi yang indah itu. Pagi itu semua orang memulai hari dengan biasa, tanpa menyadari ada sesuatu yang terjadi hari itu. Surat tertanda 1 April 2011 sepanjang empat paragraf yang dilayangkan langsung dari markas FIFA di Zurich, Swiss, tampaknya akan mengubah salah satu aspek yang melekat erat pada budaya bangsa ini. Ya, hanya empat paragraf, tetapi lebih dari empat kali artikel ini untuk menjelaskan semua esensi yang ada pada surat itu.

Surat itu adalah respons dari induk sepakbola tertinggi di dunia tentang kisruh yang melanda persepakbolaan Indonesia akhir-akhir ini. Dimulai dari ketidakpuasan masyarakat pada salah satu petinggi PSSI yang berniat maju kembali pada bursa pemilihan ketua umum periode selanjutnya, kekecewaan terhadap pelaksaanaan ISL yang dinilai amburadul dan tidak sesuai dengan cita-cita FIFA dan AFF tentang kemandirian. Kisruh itu berlanjut dengan lahirnya LPI sebagai tiang sepakbola profesional, dan terakhir, gagalnya kongres PSSI yang seharusnya dilangsungkan Maret 2011.

Hal-hal itu diperparah dengan tindakan para petinggi yang terkesan membohongi publik dan bertolak belakang dengan hal-hal yang diutarakan oleh FIFA, sehingga FIFA pun berinisiatif untuk menormalkan kembali atmosfer persepakbolaan Indonesia dengan membentuk sebuah komite normalisasi.

Jika kita melihat sekilas, tampaknya masalah ini sudah selesai. Tetapi, hal ini justru mencerminkan kerapuhan dari sistem pemerintahan di negara kita. Ada apa dengan pemimpin kita?

Benar sekali. Jelas sekali terlihat, ketika pemerintah dengan segala kekuatannya menekan PSSI, tidak ada pengaruh berarti yang bisa disaksikan, walaupun pemerintah telah berupaya keras untuk itu. Amat berbeda dengan tindakan FIFA yang langsung menyelesaikan masalah ini dengan satu surat saja. Memang, banyak faktor yang memengaruhi kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan kemelut PSSI, tetapi kerapuhan adalah salah satunya. Mengapa?

Bukan hanya di bidang sepakbola. Pada kasus terakhir seperti ditahannya kapal RI oleh bajak laut Somalia pun, pemerintah seakan tidak tanggap dengan kru ABK yang semakin kritis sejak disandera hampir sebulan yang lalu. Untuk kasus pelecehan kedaulatan jangan ditanya lagi. Seakan pemerintah tidak memiliki ketegasan dalam menyikapi berbagai kasus-kasus yang bisa berdampak signifikan bahkan untuk pemerintahan itu sendiri. Salah satu bukti yang jelas bisa dilihat dalam kasus penyelesaian Ahmadiyah yang terkesan ambigu. Hal ini jelas menimbulkan kekecewaan di berbagai daerah sehingga para kepala daerah pun berinisiatif untuk membuat perda tentang pembekuan Ahmadiyah di daerahnya.

Jika kita kembali menilik masalah PSSI, kita bisa melihat, betapa kuat tekanan yang dihasilkan oleh satu asosisasi saja. Apalagi lembaga-lembaga yang memiliki kekuatan hukum yang resmi dan bersifat mengikat, khususnya badan-badan yang ada di PBB (IMF atau DK, misalnya). Jika pemerintah terus bersikap seperti ini, bukannya tidak mungkin negara ini akan dipenuhi oleh keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh asing.

Apakah negara ini sedang mengalami krisis akut tentang pemimpin? Tidak, bahkan Indonesia seakan kelebihan stok untuk pemimpin itu, dan kita bisa melihatnya dalam bursa pilkada atau pemilu di daerah masing-masing. Yang kurang hanyalah soal kepemimpinan. Indonesia kekurangan figur yang mampu mengambil ketegasan dalam bertindak tanpa harus takut dengan segala ancaman dan tekanan yang ada di sekitarnya. Kita benar-benar kekurangan figur pemimpin yang mampu berpikir jernih dalam menyelesaikan masalah-masalah rumit yang ada sekarang ini.

Dan jelas, kita ingin setiap kebijakan yang ada di negara ini dihasilkan oleh pikiran putra-putri terbaik bangsa ini, bukan hasil negosiasi oleh pemimpin luar negeri. Jika pemerintah tidak juga mau bersikap tegas dalam setiap permasalahan, bukan tidak mungkin kita harus mendirikan sebuah sekolah tentang kepemimpinan untuk mendidik para calon pemimpin yang akan menggantikan mereka di masa depan.

Jadi bagaimana, pemerintahku yang terhormat?


 



Arief Kurniawan Jamal
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Catatan: tulisan ini juga dimuat dalam rubrik Suara Mahasiswa Okezone.com. Link: http://kampus.okezone.com/read/2011/04/15/367/446430/sekolah-pemimpin

Wednesday, April 6, 2011

Seindah Sore Ini

Saudaraku, jika engkau berada di sisiku sore ini, engkau akan melihat salah satu sore yang paling indah yang pernah engkau lihat. Engkau akan melihat kemilau mentari yang kembali ke peraduannya, gemersik dedaunan yang menari bersama lembutnya semilir angin, dan engkau juga akan melihat kawanan burung-burung yang terbang seiring terbenamnya matahari. Seakan tak pernah lelah mengejar mentari yang seolah acuh pada dunia, tak peduli dengan asa seorang anak yang terus ingin bersamanya. Ya, lebih tepatnya setiap orang, karena tak ada orang yang mungkin akan menolak indahnya sore ini.

Jika engkau berada bersamaku sore ini, akan kuajak engkau berlari, mengejar matahari sore ini. Kita akan meraih mimpi-mimpi, menggapai impian, terbang bersama harapan, dan merayakan kehidupan di ujung dunia ini. Tak ingin berhenti, walau waktu ingin kita selesai sampai disini. Ya, disinilah kita, bersama menikmati indahnya sore yang mungkin tak lagi bisa kita nikmati esok hari.

Saudaraku, betapa indah sore ini. Sebenarnya, aku tak ingin sore ini berakhir. Mengapa?
Karena belum tentu aku bisa menikmatinya esok hari.

Ya, bisa jadi inilah saat terakhir kita melihat matahari. Siapa tahu, dalam tidur kita, kita tidak bisa lagi membuka mata kita, dan itulah perpisahan kita dengan dunia ini. Kita hanya bisa mengenang saat-saat terakhir kita berada di sini, saat kita mengejar matahari, merasakan semilir angin, dan menikmati indahnya sore ini. Dan saat itu, kita tak lagi bisa merasakan hangatnya mentari itu. Tinggal kesendirian yang menemani dalam kesepian.

Dan teringat,
betapa banyak dosa ini.

Betapa banyak hari yang telah kita jalani, betapa banyak keindahan mentari yang telah kita nikmati, dan betapa banyak nikmat yang seharusnya telah kita syukuri. Dan saudaraku, apakah semua itu sepadan dengan rasa syukur kita? Apakah itu tercermin dalam tiap untaian doa dan tetesan air mata kita yang jatuh dalam sujud-sujud panjang kita? Saudaraku, terlalu munafik jika kita selalu berkata, aku selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita, sedangkan hari-hari kita masih terus diisi dengan kefuturan yang tak pernah lepas dari kita. Kita berbangga dengan anugerah, tetapi lupa menggunakannya di jalan-Nya, di jalan ini. terlalu nafi jika kita menganggap kita adalah hamba yang bersyukur, tapi hati kita jauh dari syukur itu…

Astaghfirullah…
Lupa dengan dosa ini…

Kelak, jika nikmat itu telah dicabut, dan betis kiri dan kanan telah bertaut, kita akan yakin, bahwa itulah perpisahan dengan dunia. Tak ada lagi sore hari, tak ada lagi angin yang berhembus, tak ada lagi kehangatan matahari, dan disinilah kita, termangu dalam kesendirian, menanti perhitungan semua amal yang telah kita lakukan dengan nikmat-Nya…

Dan di akhir sore ini, sepintas doa kuhaturkan,

“Ya Allah, pertemukanlah aku dengan mentari ini esok hari. Amin…”

(sebuah catatan kecil di akhir hari ini)