Surat itu adalah respons dari induk sepakbola tertinggi di dunia tentang kisruh yang melanda persepakbolaan Indonesia akhir-akhir ini. Dimulai dari ketidakpuasan masyarakat pada salah satu petinggi PSSI yang berniat maju kembali pada bursa pemilihan ketua umum periode selanjutnya, kekecewaan terhadap pelaksaanaan ISL yang dinilai amburadul dan tidak sesuai dengan cita-cita FIFA dan AFF tentang kemandirian. Kisruh itu berlanjut dengan lahirnya LPI sebagai tiang sepakbola profesional, dan terakhir, gagalnya kongres PSSI yang seharusnya dilangsungkan Maret 2011.
Hal-hal itu diperparah dengan tindakan para petinggi yang terkesan membohongi publik dan bertolak belakang dengan hal-hal yang diutarakan oleh FIFA, sehingga FIFA pun berinisiatif untuk menormalkan kembali atmosfer persepakbolaan Indonesia dengan membentuk sebuah komite normalisasi.
Jika kita melihat sekilas, tampaknya masalah ini sudah selesai. Tetapi, hal ini justru mencerminkan kerapuhan dari sistem pemerintahan di negara kita. Ada apa dengan pemimpin kita?
Benar sekali. Jelas sekali terlihat, ketika pemerintah dengan segala kekuatannya menekan PSSI, tidak ada pengaruh berarti yang bisa disaksikan, walaupun pemerintah telah berupaya keras untuk itu. Amat berbeda dengan tindakan FIFA yang langsung menyelesaikan masalah ini dengan satu surat saja. Memang, banyak faktor yang memengaruhi kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan kemelut PSSI, tetapi kerapuhan adalah salah satunya. Mengapa?
Bukan hanya di bidang sepakbola. Pada kasus terakhir seperti ditahannya kapal RI oleh bajak laut Somalia pun, pemerintah seakan tidak tanggap dengan kru ABK yang semakin kritis sejak disandera hampir sebulan yang lalu. Untuk kasus pelecehan kedaulatan jangan ditanya lagi. Seakan pemerintah tidak memiliki ketegasan dalam menyikapi berbagai kasus-kasus yang bisa berdampak signifikan bahkan untuk pemerintahan itu sendiri. Salah satu bukti yang jelas bisa dilihat dalam kasus penyelesaian Ahmadiyah yang terkesan ambigu. Hal ini jelas menimbulkan kekecewaan di berbagai daerah sehingga para kepala daerah pun berinisiatif untuk membuat perda tentang pembekuan Ahmadiyah di daerahnya.
Jika kita kembali menilik masalah PSSI, kita bisa melihat, betapa kuat tekanan yang dihasilkan oleh satu asosisasi saja. Apalagi lembaga-lembaga yang memiliki kekuatan hukum yang resmi dan bersifat mengikat, khususnya badan-badan yang ada di PBB (IMF atau DK, misalnya). Jika pemerintah terus bersikap seperti ini, bukannya tidak mungkin negara ini akan dipenuhi oleh keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh asing.
Apakah negara ini sedang mengalami krisis akut tentang pemimpin? Tidak, bahkan Indonesia seakan kelebihan stok untuk pemimpin itu, dan kita bisa melihatnya dalam bursa pilkada atau pemilu di daerah masing-masing. Yang kurang hanyalah soal kepemimpinan. Indonesia kekurangan figur yang mampu mengambil ketegasan dalam bertindak tanpa harus takut dengan segala ancaman dan tekanan yang ada di sekitarnya. Kita benar-benar kekurangan figur pemimpin yang mampu berpikir jernih dalam menyelesaikan masalah-masalah rumit yang ada sekarang ini.
Dan jelas, kita ingin setiap kebijakan yang ada di negara ini dihasilkan oleh pikiran putra-putri terbaik bangsa ini, bukan hasil negosiasi oleh pemimpin luar negeri. Jika pemerintah tidak juga mau bersikap tegas dalam setiap permasalahan, bukan tidak mungkin kita harus mendirikan sebuah sekolah tentang kepemimpinan untuk mendidik para calon pemimpin yang akan menggantikan mereka di masa depan.
Jadi bagaimana, pemerintahku yang terhormat?

Arief Kurniawan Jamal
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Catatan: tulisan ini juga dimuat dalam rubrik Suara Mahasiswa Okezone.com. Link: http://kampus.okezone.com/read/2011/04/15/367/446430/sekolah-pemimpin
No comments:
Post a Comment