Saturday, March 19, 2011

Peran Lembaga Legislatif dalam Mitigasi Bencana di Indonesia

AKHIRNYA, tender gedung baru DPR resmi dibuka. Angka tender yang diajukan oleh DPR pun tidak main-main, mencapai Rp1,164 triliun, sudah termasuk dengan berbagai fasilitas yang terdapat di dalamnya. Sebuah gedung baru dengan tinggi 36 lantai akan segera meramaikan puncak langit Jakarta dalam dua tahun ini, dan yang paling unik, gedung ini dikhususkan untuk kalangan anggota dewan saja, tanpa boleh diakses publik yang notabene adalah habitat asli mereka, suatu komunitas yang memilih dan mengangkat nama mereka menjadi sesuatu yang terhormat: wakil rakyat.

Itulah sekelumit kisah yang mewarnai tajuk dan opini koran baru-baru ini. Dan proyek ini segera disambut dengan “penghormatan” yang sudah umum dilakukan untuk mereka: protes dan kecaman. Tak heran, mengingat opini ini sudah jauh-jauh hari tidak disukai oleh berbagai kalangan dan alasan kemiringan 7 derajat pun tampaknya sedikit tidak normal (sekadar membandingkan, menara Pisa di Italia hanya memiliki kemiringan 3 derajat). Belum lagi jika kita menelaah kinerja para anggota dewan yang mendapat nilai merah di tahun sebelumnya, seperti bobroknya penegakan hukum, gagalnya penyelesaian 70 RUU prioritas, hingga pelesiran para anggota dewan yang terhormat di tengah bencana yang menimpa negeri ini.

Mengingat bencana-bencana yang menimpa negeri ini, siapa yang masih ingat dengan ulah para anggota dewan yang silih berganti melakukan berbagai perjalanan dan studi banding ke luar negeri di saat banjir menimpa Wasior, tsunami meluluhlantakkan Mentawai, dan Merapi mengamuk di Yogyakarta. Ditambah dengan pernyataan keras salah seorang pejabat teras di DPR yang menyalahkan korban tsunami di Mentawai, DPR seakan menjadi menara gading yang tidak peduli lagi dengan asal muasalnya, dengan tanah airnya, dan harapan-harapan rakyat yang ada di bawahnya.

Sungguh ironi, terutama karena berita ini justru datang ketika salah satu negara di pelosok dunia sedang menghadapi bencana yang (juga secara ironis) pernah disinggung oleh pejabat teras DPR tersebut. Tsunami. Satu kata yang sama, bencana yang sama, dihadapi oleh negara yang juga biasa mengalaminya, tetapi memiliki respons yang berbeda. Jika kita biasa melihat pejabat teras itu menyalahkan korban tsunami karena tinggal di tepi pantai, kita tidak akan pernah bisa menemukannya pada “saudara tua” kita tersebut. Bahkan, pemerintahnyalah yang terkesan “bertanggung jawab” atas bencana tersebut, dan hal ini dibuktikan dengan sistem penanganan pascabencana yang layak diacungi jempol.

Masyarakat Jepang, di tengah penderitaannya, masih bisa memberi pelajaran pada dunia, bagaimana rasa persaudaraan masih mengisi relung hati mereka. Mereka masih bisa antre dalam mendapatkan jatah makanan dan air bersih yang terbatas. Mereka masih bisa mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang diri mereka sendiri yang juga membutuhkannya. Dan menariknya, budaya ini tidak berkembang di suatu negara yang melecehkan penduduk yang terkena tsunami itu, padahal masih berada pada rumpun budaya timur yang mengagungkan perilaku luhur. Ada apa gerangan?

Jika kita kembali melihat pada substansi yang paling dasar, sebenarnya budaya itu tidak hilang di Indonesia. Pada kehidupan sehari-hari saja misalnya, kita masih sering melihat seorang anak muda memberikan tempat duduknya pada seorang tua dan budaya memberi kepada mereka yang membutuhkan. Terlepas dari pemberitaan media akhir-akhir ini, kita masih bisa merasakan, budaya itu belum hilang!

Namun, mengapa keramahan itu seakan sirna ketika bencana menghadang?

Sistem penanganan bencanalah yang menjadi jawaban atas masalah ini. Indonesia dan Jepang sama-sama berada pada pertemuan lempeng benua yang tidak stabil dan mengakibatkan bencana menjadi sesuatu yang biasa terjadi di negara-negara itu. Hanya saja, pemerintah Jepang sangat peduli dengan ancaman rutin itu, sedangkan Indonesia masih terlalu sibuk dengan retaknya koalisi dan gedung baru anggota dewan tersebut. Jepang membangun sistem penanganan yang melibatkan seluruh unsur yang dilibatkan secara terpadu ketika menghadapi bencana. Karena proses penanganan ini dilakukan secara terpadu dengan sistem yang dirancang secara sempurna, otomatis tidak ada kepanikan berarti ketika gempa terjadi. Mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika bencana datang, sehingga kepanikan bisa diminimalisasi dan proses penanganan bisa berjalan dengan lancar. Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan kolaborasi menyeluruh, baik antara sistem pemerintahan sendiri maupun dengan rakyatnya.

Penanganan bencana membutuhkan suatu sistem terpadu yang dirumuskan dengan serius oleh lembaga legislatif suatu negara, karena lembaga eksekutif tidak bisa berjalan tanpa didasari aturan-aturan yang berlaku secara resmi, dalam hal ini dirumuskan oleh lembaga legislatif. Inilah perbedaan mendasar dan terpenting dari birokrasi mitigasi di Jepang dan Indonesia. Kekuasaan yudikatif pun diatur sedemikian rupa sehingga mampu memberi solusi atas rencana yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Amat berbeda di Indonesia di mana mereka masih sibuk berbicara mengenai koalisi partai, pembangunan gedung baru, dan agenda lain yang seharusnya bisa dikesampingkan karena tidak memberi pengaruh yang signifikan dalam membangun bangsa ini. Walaupun Indonesia telah memiliki UU no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, tidak ada satu pihak pun yang menganggap UU ini berarti sehingga membuat publik beropini untuk membuat UU mitigasi yang baru (Antara, 7 April 2010).

Pembuatan sistem terpadu itu memang tidak mudah, dan memerlukan usaha dan pengorbanan yang tidak sedikit dari berbagai elemen dalam kehidupan bangsa, bahkan mungkin saja “megaproyek” ini berhenti di tengah jalan. Namun rakyat Indonesia sudah rindu melihat DPR yang tidak saja memikirkan keselamatan pribadi karena kemiringan gedungnya, tetapi juga keselamatan rakyatnya yang tinggal di daerah yang rawan akan terjadinya bencana. Kami sudah rindu melihat pemerintahan yang tidak lagi menyalahkan alam ataupun rakyatnya ketika bencana menerpa. Dan terlebih lagi, kami rindu melihat pemerintah yang berdiri di garda depan dalam penanganan bencana, bukan ormas, apalagi parpol dan segudang kepentingan asing yang mengekor di belakangnya. Harapan kami padamu.

Arief Kurniawan Jamal
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2010

Catatan: tulisan ini juga dimuat dalam rubrik Suara Mahasiswa Okezone.com. Link: http://kampus.okezone.com/read/2011/03/18/367/436418/peran-lembaga-legislatif-dalam-mitigasi-bencana-di-indonesia

Wednesday, March 16, 2011

I'm Proud to Stand Alone!

Saya bangga dengan keyakinan saya! Saya bangga dengan ke-Islaman saya! Saya bangga, walaupun untuk itu saya harus berdiri sendiri di puncak karang penderitaan, melepaskan segala angan-angan, dan berhadapan dengan ujian yang menghadang di garis depan. Tapi, biarlah! Toh aku sudah berdiri dengan tegap di jalan ini, dan kalau mundur sama dengan mati, lebih baik kutantang ujian ini hingga raga ini tak lagi sanggup berdiri. Akan kutantang kefuturan, kuhabisi kezhaliman, kukalahkan kebathilan, dan kuhancurkan kemungkaran, jika itu berarti keridhaan Rabb-nya pada hambanya yang gugur ditelan zaman. Dan sekarang, disinilah aku berdiri…

Sering orang bertanya, mengapa aku mengambil jalan yang berkerikil tajam ini. kukatakan, dengan kerikil tajam yang memenuhi jalan ini, aku akan sadar bahwa perjalanan ini bukanlah perjalanan belaka dan sia-sia, dan aku akan lebih berhati-hati dalam mengarungi jalan ini. Jalan kehidupan. Dan aku tidak ingin salah melangkahi jalan yang penuh tipu daya dan kefatamorganaan. Belum saatnya aku merayakan kehidupan, karena jika aku merayakannya sebelum perjalanan ini usai, aku takut kaki ini akan semakin terluka karena tajamnya kerikil dan perjalanan ini pun akan sia-sia. Dan sekarang kuikrarkan, aku tak kan berhenti lagi, jika itu artinya kekalahan yang nyata!

Sering orang mencaciku sebagai orang yang bodoh. Kukatakan, aku ingin menjadi golongan mereka yang menerangi dunia dengan ihsan di pikirannya, iman di dadanya, dan islam pada jiwanya. Aku bangga menjadi bagian sejarah itu. Aku bangga bisa mengikuti Ibnu Sina yang menerangi dunia kedokteran dengan karya monumentalnya, walau aku harus rela bangun pukul 2 malam untuk bangun, bersujud kepada-Nya. Aku bangga bisa mengikuti jejak Al Khawarizm yang menemukan sistem aljabar, walaupun untuk itu aku harus rela menghafalkan Alquran di sela-sela kehidupanku sebagai mahasiswa untuk belajar. Dan aku rela menjadi seorang Ibnu Batutah yang menjadi penjelajah dunia terbesar hingga kini, walaupun untuk itu aku terpaksa menjauhi babi, khamar, wanita, dan segala perhiasan yang dititipkan pada dunia ini. Dan sejujurnya, aku lebih rela untuk mati di Palestina bersama saudara seimanku yang kucinta, jika itu berarti surga dan kemenangan yang nyata!

Ya, aku lebih rela menginjakkan kaki di karang tajam ini, jika itu berarti lebih banyak kebaikan yang bisa kuberikan untuk bumi ini. Jika tiap langkahku berarti satu harapan baru untuk anak-anak Afghan, aku siap. Jika tetesan keringat dan air mata perjuangan ini berarti satu asa baru untuk mereka yang kini dizhalimi di pelosok dunia sana, aku bersedia. Jika tumpahan darah ini berarti perdamaian dan kesejukan yang ada bersamanya, aku rela. Karena tiap tetes peluh dan darah ini tak akan terbuang percuma, ia akan terus menjadi saksi perjuangan dan benih harapan bagi mereka yang telah kehilangan tujuan.

Aku rela mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan gelombang ini, jika itu berarti aku bisa menemukan keajaiban-keajaiban baru yang ada pada Alquran-ku. Jika aku disuruh untuk memasuki hutan yang penuh dengan liku dan tujuan semu, aku siap, jika itu berarti aku bisa mengenalkan kepada dunia tentang emansipasi wanita yang ada pada agama ini. Jika aku bisa meneriakkan bahwa agama ini bukanlah teroris seperti yang mereka katakan, aku bersedia, walaupun aku harus kembali pada kesendirianku, pada keasingan, pada ketidaktahuan, pada penderitaanku…

Jika pada ujung jalan ini aku bisa merayakan kehidupan, setelah bertahun-tahun dengan butiran keringat, darah, dan air mata…
Aku siap…
Walaupun sekali lagi harus kuteriakkan…
I’m proud to stand alone!!!

Sebuah Renungan Kecil

Lucu ya...
Kalau kita selalu mengeluh akan beratnya beban ini...
Sedangkan bumi tidak pernah sekali pun protes akan gunung-gunung dan bebatuan yang ada di hamparannya...



Aneh ya...
Kalau kita selalu berharap kebaikan kita akan selalu dibalas...
Padahal mentari selalu setia memancarkan sinarnya untuk kita, tanpa sekalipun mengharap balas jasa...




Unik ya...
Kalau kita selalu menyesal telah dilahirkan...
Padahal rerumputan selalu berbahagia karena telah dilahirkan, karena mereka memberi kehijauan pada tanah yang gersang, walaupun untuk itu mereka rela untuk diinjak, dipangkas, atau dicabut hingga akar-akarnya...



Heran ya...
Kalau kita selalu merasa kekurangan...
Sedangkan saudara kita di Palestina saja selalu bersyukur atas kurma yang dimakannya hari ini...



Aneh ya...
Kalau kita surut melangkah karena kesedihan kita...
Namun hutan selalu optimis menumbuhkan pohon-pohonnya, walaupun ia tahu, pohon-pohonnya akan terus ditebang untuk memenuhi keserakahan perut manusia...



Alangkah lucunya...
Jika kita selalu merasa terpenjara dalam hidup ini...
Padahal burung dalam sangkar itu selalu bernyanyi untuk kita, tak peduli apapun keadaannya...



Alangkah nafinya...
Jika kita memandang remeh gemersik dedaunan yang mengganggu tidur siang kita...
Bahkan kita belum tentu bisa berdzikir seperti itu kepada-Nya...



Alangkah herannya...
Melihat mereka tak lagi dekat pada Rabb-nya...
Padahal jiwa mereka selalu dekat, bahkan lebih dekat dari urat lehernya, dan mereka tak pernah ingat akan hal itu...



Astaghfirullah...
Betapa banyak kita mengeluh dalam hidup ini...
Sedangkan alam selalu sabar, ikhlas dalam menjalani peran yang telah disuratkan kepada mereka...
Bumi menghampar, gunung menjulang, langit membentang, bintang bertaburan, membawa dzikir dari seluruh semesta...
Sedangkan kita hanya bisa duduk termangu di sini, lupa akan segalanya...



Astaghfirullah...
Lupa akan dosa ini...
Betapa banyak kita menyalahkan sesuatu atas dosa mereka...
Padahal dunia tak pernah murka atas setumpuk dosa yang kita lakukan pada mereka...

Astaghfirullah..
Betapa hinanya diri ini...
Melihat alam selalu ingat pada Rabb-nya...
Sedangkan kita...
Selalu terlupa dalam kesibukan dunia yang fana dan penuh fatamorgana...

Astaghfirullah...
Ampuni dosa ini, ya Allah...



Rabbana atina fid-dunya hasanatan wa fil 'akhirati hasanatan waqina 'adhaban-nar...
Amin...

Monday, March 14, 2011

Utopia in the Seaside

Saudaraku, bayangkan jika anda berada di tepi pantai, dengan hamparan pasir yang putih, langit biru yang cerah, semilir angin yang menyejukkan jiwa, dan luasnya lautan biru yang membentang di depan kita. Bayangkan jika alunan ombak lembut menggelitik kaki kita, matahari mulai terbenam ke peraduannya, dan malam harinya dihabiskan dengan membuat api unggun sembari menghabiskan waktu dengan gemerlapnya bintang-bintang yang menginspirasi hingga ke dalam hati. Bulan purnama bersinar terang di langit, dan anda melihat laut kini berwarna keperakan, dan bimasakti pun terlihat, menambah indah malam ini. Subhanallah...

Esok paginya, engkau pun terbangun, dan kembali mendapati dirimu di pantai itu. Engkau menghabiskan waktu lagi disana, dan engkau mulai menikmati hari-harimu dan memulai sebuah pengalaman baru. Darahmu mendesir ketika menemukan sebuah petualangan, dimana ada sebuah gua purba berusia ribuan tahun, penuh dengan stalaktit dan stalagmit yang menghiasi langit-langit gua, gemuruh sungai bawah tanah yang mengalir di bawahnya, dan ketika engkau menyusuri ujung dari gua ini, engkau menemukan sebuah relief masa lalu. Sebuah monolith yang diukir dengan sempurna, tetapi menceritakan sebuah kisah yang mengerikan. Bencana akan datang menghampirimu, menyadarkanmu. Dan engkau akan tersentak, bahwa engkau berada dalam mimpi, dalam sebuah utopia, dan engkau pasti akan kecewa. Bahwa semua itu palsu, palsu! Tidak lebih dari impian semu!

***

Saudaraku, engkau pasti pernah merasakan hal-hal seperti ini. Suatu ketika, engkau pasti memiliki impian seperti ini. Engkau membayangkan bahwa dirimu berada dalam impianmu, berada dalam pusaran mimpi, impian, dan harapan. Dan semilir angin sejenak akan membawamu melayang, tetapi segera jatuh begitu desiran itu hilang. Engkau segera akan berpikir, ah, tidak ada gunanya. Toh aku akan tetap seperti ini, terjebak di dunia ini, terbenam dalam kepalsuan setiap orang yang berdiri tepat di sampingku. Toh aku sudah ditakdirkan untuk menjadi seperti ini, mengikuti aluran waktu, dan lauh mahfudz telah mencatat semua yang akan terjadi di masa depan, bahkan sehelai daun pun tidak ada yang luput dari kuasa-Nya. Tapi, saudaraku...

Masih ingatkah ketika engkau mendapatkan seekor ulat bulu, padahal engkau mengharapkan seekor kupu-kupu cantik terbang menghiasi kamar indahmu? Masih ingatkah engkau ketika engkau mendapatkan sebuah kaktus berduri, walaupun engkau merengek meminta setangkai bunga yang segar? Engkau pasti akan berpikir, alangkah tidak adilnya. Engkau akan merasa semua menjadi palsu, penuh kebusukan. Engkau putus asa, melihat dunia begitu monokrom, dan keindahan laut yang diceritakan tadi menjadi hampa. Engkau merasa, takdir begitu kuat mencengkerammu, sehingga rasionalitas menjadi tak pantas, Allah pun menjadi sasaran kemarahanmu, kefuturan menghampiri, dan ghirahmu padam, terbenam bersama gelapnya malam...

Dan engkau pun akan melihat, kaktus itu berbunga, membawa jiwa serasa terbang ke surga, dan ulat itu bermetamorfosis, menjadi seekor kupu-kupu yang indah sekali...

Itu lah takdir yang kita sesali tadi. Kita selalu berharap yang kita inginkan, sedangkan Allah memberi apa yang kita butuhkan. Kita selalu berharap pantai tadi selalu menjadi bagian hidup kita, tetapi Allah menyadarkan kita bahwa itu hanya fatamorgana semata. Alangkah tidak adilnya. Tapi itulah rencana-Nya, indah pada waktunya. Walaupun sempat sedih dan kecewa, ingatlah, pantai itu akan selalu menjadi milik kita, dan semua impian itu akan menjadi indah pada waktunya, insya allah...

Dan saudaraku, ketika engkau merasa sedih dan kecewa...
Iingatlah, bahwa Ia sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan kita...

(dikutip dari taushiah seorang sahabat. syukran...)

Wednesday, March 9, 2011

Filosofi: Antara Langit dan Bumi

Aku merindukan ide-ide kebebasan! Aku ingin berlari bersama angin, melewati batas-batas mimpi, dan terbang dengan bebasnya, tanpa satu pun yang menghalangi!

Sayangnya, ada satu fakta yang membuatnya menjadi tidak mungkin.
Kita masih berada di bumi!

Mengapa?
Mengapa kita harus selalu terkurung di bumi ini? Alangkah tidak menyenangkan! Setiap hari kita hanya terpaku di sini, menyelesaikan rutinitas yang anehnya, selalu sama! Entah itu kuliah, jualan, belajar, sedikit jalan-jalan di akhir pekan... tak ada lagi. Minggu berganti, bulan dan tahun pun ikut berganti. Tak ada yang berubah. Tetap saja kita akan terpaku dengan rutinitas yang membosankan itu. Kita seakan terikat dengan bumi. Stick with it. Kita berjalan setiap hari, tanpa bisa melihat keindahan langit pagi karena takut akan terlambat, tidak dapat absen pagi. Siang harinya, kita pun terpaku pada istirahat siang kita yang amat sejenak, karena setumpuk tugas telah menunggu lagi untuk diselesaikan. Sore hari pun kita tidak bisa menikmati indahnya langit karena kita terlalu sibuk untuk bergegas pulang karena masih ada pekerjaan yang mesti diselesaikan hari ini dan kita pun terlupa untuk menikmati indahnya kemilau langit di malam hari. Bulan beredar, dan tak terasa mentari mulai memancarkan sinarnya. Satu lagi hari baru yang penuh dengan rutinitas yang membosankan...

Bahkan, kita terkadang tidak sadar tentang rutinitas ini . Kita bahkan lupa bahwa rutinitas itu adalah sebuah rutinitas. Kita terlalu sibuk untuk memikirkan itu semua, bukan? Bahkan, di sela-sela perjalanan kita, kita terlalu sibuk untuk mengucapkan syukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya yang telah diberikannya pada kita. Kita lupa akan dzikir burung-burung dan pepohonan di sekeliling kita... Lupa akan semilir angin yang bertiup menerpa raga ini, memberi kesejukan hingga ke dalam hati. Lupa segalanya.

Alangkah indahnya jika kita menjadi salah satu dari mereka. Kita akan berlari, terbang, menembus alam ini. Kita bebas menikmati indahnya mentari, semilir angin, dan birunya langit dan samudera. Sayangnya, keindahan alam itu seakan sirna karena ada satu hal yang membuat itu kembali gagal dinikmati dengan sempurna..

RUTINITAS!!!

Entah mengapa, kaki kita seakan tidak bisa lepas dari tanah ini. Sekali kita melepasnya, seketika itu juga bumi akan menariknya kembali. Hanya roket yang mampu melepaskan diri dari cengkeraman itu. Namun, apakah itu menyelesaikan masalah? Tidak, bahkan roket diciptakan hanya untuk mengantarkan manusia-manusia itu ke bulan, lalu ia akan hancur dengan segera. Masih banyak lagi kesibukan yang akan menunggu kita, kesibukan lagi, dan lagi. Rutinitas dan kesibukan agaknya telah menjadi sesuatu yang anehnya, akan membuat seseorang itu menjadi aneh jika tidak mendapatkannya. Aneh, memang.

Saudaraku, ingatkah engkau, bahwa dalam setiap kesulitan itu ada kemudahan? Mungkin kita pernah sedih dan kecewa atas rutinitas yang terus menerpa kehidupan kita. Bukan bermaksud mematahkan semangat atau apa, tetapi kebebasan hanya akan kita peroleh di langit. Memang, saat dimana amal kita dihisab, dan jembatan shirattal mustaqin telah dibentangkan, dan itulah kesibukan kita yang terakhir, insya allah. Lalu segala kesibukan yang pernah kita rasakan akan sirna, dan kesibukan yang baru akan segera hadir: menikmati kebebasan kita.

Tapi, jalan itu masih panjang. Dan bersyukurlah karena kita masih bisa menikmati semua kesibukan itu, karena apa? Kita masih bisa bersujud di akhir malam, menitikkan air mata, berharap akan suatu tempat dimana kebebasan itu akan datang menghampiri. Dan saudaraku...

ingatlah...
perjuangan ini masih panjang...
masih banyak yang harus kita lakukan...
apakah kita rela begitu saja...
melihat begitu banyak saudara kita yang menderita di luar sana?
menyaksikan banyak anak-anak Palestina yang dibantai oleh yahudi durjana?
dan bersenang-senang, sementara tetangga kita masih menderita karena kehabisan bekal untuk hidupnya...

Saudaraku, inilah mengapa bumi masih mencintai kita. Bumi bukan membenci kita karena membiarkan kita terus melekat bersamanya, membiarkan penderitaan terus menghampiri kita. Bumi melakukan itu karena ia ingin kita yang membuat untaian harapan untuk mereka, mereka yang tak tahu makan apa esok hari. Setelah itu, saudaraku...

bersiaplah..
karena kebebasan yang sesungguhnya akan datang
di suatu tempat dimana tidak ada lagi kesibukan berdatangan
tempat dimana kita akan merayakan kehidupan, setelah penderitaan bertahun-tahun dengan air mata dan perjuangan
menembus batas mimpi dan angan-angan
membuka cakrawala, mengais masa depan tanpa sesuatu yang gagal menjadi harapan
itulah dia, saudaraku
suatu tempat yang terus kita impikan di akhir waktu
dan tempat kita akan berkumpul kelak, setelah mengikis peradaban semu...

kumpulkan kelak ya Robb, di surga Mu...

(Post ke tiga. alhamdulillah..)