Saudaraku, bayangkan jika anda berada di tepi pantai, dengan hamparan pasir yang putih, langit biru yang cerah, semilir angin yang menyejukkan jiwa, dan luasnya lautan biru yang membentang di depan kita. Bayangkan jika alunan ombak lembut menggelitik kaki kita, matahari mulai terbenam ke peraduannya, dan malam harinya dihabiskan dengan membuat api unggun sembari menghabiskan waktu dengan gemerlapnya bintang-bintang yang menginspirasi hingga ke dalam hati. Bulan purnama bersinar terang di langit, dan anda melihat laut kini berwarna keperakan, dan bimasakti pun terlihat, menambah indah malam ini. Subhanallah...
Esok paginya, engkau pun terbangun, dan kembali mendapati dirimu di pantai itu. Engkau menghabiskan waktu lagi disana, dan engkau mulai menikmati hari-harimu dan memulai sebuah pengalaman baru. Darahmu mendesir ketika menemukan sebuah petualangan, dimana ada sebuah gua purba berusia ribuan tahun, penuh dengan stalaktit dan stalagmit yang menghiasi langit-langit gua, gemuruh sungai bawah tanah yang mengalir di bawahnya, dan ketika engkau menyusuri ujung dari gua ini, engkau menemukan sebuah relief masa lalu. Sebuah monolith yang diukir dengan sempurna, tetapi menceritakan sebuah kisah yang mengerikan. Bencana akan datang menghampirimu, menyadarkanmu. Dan engkau akan tersentak, bahwa engkau berada dalam mimpi, dalam sebuah utopia, dan engkau pasti akan kecewa. Bahwa semua itu palsu, palsu! Tidak lebih dari impian semu!
***
Saudaraku, engkau pasti pernah merasakan hal-hal seperti ini. Suatu ketika, engkau pasti memiliki impian seperti ini. Engkau membayangkan bahwa dirimu berada dalam impianmu, berada dalam pusaran mimpi, impian, dan harapan. Dan semilir angin sejenak akan membawamu melayang, tetapi segera jatuh begitu desiran itu hilang. Engkau segera akan berpikir, ah, tidak ada gunanya. Toh aku akan tetap seperti ini, terjebak di dunia ini, terbenam dalam kepalsuan setiap orang yang berdiri tepat di sampingku. Toh aku sudah ditakdirkan untuk menjadi seperti ini, mengikuti aluran waktu, dan lauh mahfudz telah mencatat semua yang akan terjadi di masa depan, bahkan sehelai daun pun tidak ada yang luput dari kuasa-Nya. Tapi, saudaraku...
Masih ingatkah ketika engkau mendapatkan seekor ulat bulu, padahal engkau mengharapkan seekor kupu-kupu cantik terbang menghiasi kamar indahmu? Masih ingatkah engkau ketika engkau mendapatkan sebuah kaktus berduri, walaupun engkau merengek meminta setangkai bunga yang segar? Engkau pasti akan berpikir, alangkah tidak adilnya. Engkau akan merasa semua menjadi palsu, penuh kebusukan. Engkau putus asa, melihat dunia begitu monokrom, dan keindahan laut yang diceritakan tadi menjadi hampa. Engkau merasa, takdir begitu kuat mencengkerammu, sehingga rasionalitas menjadi tak pantas, Allah pun menjadi sasaran kemarahanmu, kefuturan menghampiri, dan ghirahmu padam, terbenam bersama gelapnya malam...
Dan engkau pun akan melihat, kaktus itu berbunga, membawa jiwa serasa terbang ke surga, dan ulat itu bermetamorfosis, menjadi seekor kupu-kupu yang indah sekali...
Itu lah takdir yang kita sesali tadi. Kita selalu berharap yang kita inginkan, sedangkan Allah memberi apa yang kita butuhkan. Kita selalu berharap pantai tadi selalu menjadi bagian hidup kita, tetapi Allah menyadarkan kita bahwa itu hanya fatamorgana semata. Alangkah tidak adilnya. Tapi itulah rencana-Nya, indah pada waktunya. Walaupun sempat sedih dan kecewa, ingatlah, pantai itu akan selalu menjadi milik kita, dan semua impian itu akan menjadi indah pada waktunya, insya allah...
Dan saudaraku, ketika engkau merasa sedih dan kecewa...
Iingatlah, bahwa Ia sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan kita...
(dikutip dari taushiah seorang sahabat. syukran...)
No comments:
Post a Comment