AKHIRNYA, tender gedung baru DPR resmi dibuka. Angka tender yang diajukan oleh DPR pun tidak main-main, mencapai Rp1,164 triliun, sudah termasuk dengan berbagai fasilitas yang terdapat di dalamnya. Sebuah gedung baru dengan tinggi 36 lantai akan segera meramaikan puncak langit Jakarta dalam dua tahun ini, dan yang paling unik, gedung ini dikhususkan untuk kalangan anggota dewan saja, tanpa boleh diakses publik yang notabene adalah habitat asli mereka, suatu komunitas yang memilih dan mengangkat nama mereka menjadi sesuatu yang terhormat: wakil rakyat.
Itulah sekelumit kisah yang mewarnai tajuk dan opini koran baru-baru ini. Dan proyek ini segera disambut dengan “penghormatan” yang sudah umum dilakukan untuk mereka: protes dan kecaman. Tak heran, mengingat opini ini sudah jauh-jauh hari tidak disukai oleh berbagai kalangan dan alasan kemiringan 7 derajat pun tampaknya sedikit tidak normal (sekadar membandingkan, menara Pisa di Italia hanya memiliki kemiringan 3 derajat). Belum lagi jika kita menelaah kinerja para anggota dewan yang mendapat nilai merah di tahun sebelumnya, seperti bobroknya penegakan hukum, gagalnya penyelesaian 70 RUU prioritas, hingga pelesiran para anggota dewan yang terhormat di tengah bencana yang menimpa negeri ini.
Mengingat bencana-bencana yang menimpa negeri ini, siapa yang masih ingat dengan ulah para anggota dewan yang silih berganti melakukan berbagai perjalanan dan studi banding ke luar negeri di saat banjir menimpa Wasior, tsunami meluluhlantakkan Mentawai, dan Merapi mengamuk di Yogyakarta. Ditambah dengan pernyataan keras salah seorang pejabat teras di DPR yang menyalahkan korban tsunami di Mentawai, DPR seakan menjadi menara gading yang tidak peduli lagi dengan asal muasalnya, dengan tanah airnya, dan harapan-harapan rakyat yang ada di bawahnya.
Sungguh ironi, terutama karena berita ini justru datang ketika salah satu negara di pelosok dunia sedang menghadapi bencana yang (juga secara ironis) pernah disinggung oleh pejabat teras DPR tersebut. Tsunami. Satu kata yang sama, bencana yang sama, dihadapi oleh negara yang juga biasa mengalaminya, tetapi memiliki respons yang berbeda. Jika kita biasa melihat pejabat teras itu menyalahkan korban tsunami karena tinggal di tepi pantai, kita tidak akan pernah bisa menemukannya pada “saudara tua” kita tersebut. Bahkan, pemerintahnyalah yang terkesan “bertanggung jawab” atas bencana tersebut, dan hal ini dibuktikan dengan sistem penanganan pascabencana yang layak diacungi jempol.
Masyarakat Jepang, di tengah penderitaannya, masih bisa memberi pelajaran pada dunia, bagaimana rasa persaudaraan masih mengisi relung hati mereka. Mereka masih bisa antre dalam mendapatkan jatah makanan dan air bersih yang terbatas. Mereka masih bisa mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang diri mereka sendiri yang juga membutuhkannya. Dan menariknya, budaya ini tidak berkembang di suatu negara yang melecehkan penduduk yang terkena tsunami itu, padahal masih berada pada rumpun budaya timur yang mengagungkan perilaku luhur. Ada apa gerangan?
Jika kita kembali melihat pada substansi yang paling dasar, sebenarnya budaya itu tidak hilang di Indonesia. Pada kehidupan sehari-hari saja misalnya, kita masih sering melihat seorang anak muda memberikan tempat duduknya pada seorang tua dan budaya memberi kepada mereka yang membutuhkan. Terlepas dari pemberitaan media akhir-akhir ini, kita masih bisa merasakan, budaya itu belum hilang!
Namun, mengapa keramahan itu seakan sirna ketika bencana menghadang?
Sistem penanganan bencanalah yang menjadi jawaban atas masalah ini. Indonesia dan Jepang sama-sama berada pada pertemuan lempeng benua yang tidak stabil dan mengakibatkan bencana menjadi sesuatu yang biasa terjadi di negara-negara itu. Hanya saja, pemerintah Jepang sangat peduli dengan ancaman rutin itu, sedangkan Indonesia masih terlalu sibuk dengan retaknya koalisi dan gedung baru anggota dewan tersebut. Jepang membangun sistem penanganan yang melibatkan seluruh unsur yang dilibatkan secara terpadu ketika menghadapi bencana. Karena proses penanganan ini dilakukan secara terpadu dengan sistem yang dirancang secara sempurna, otomatis tidak ada kepanikan berarti ketika gempa terjadi. Mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika bencana datang, sehingga kepanikan bisa diminimalisasi dan proses penanganan bisa berjalan dengan lancar. Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan kolaborasi menyeluruh, baik antara sistem pemerintahan sendiri maupun dengan rakyatnya.
Penanganan bencana membutuhkan suatu sistem terpadu yang dirumuskan dengan serius oleh lembaga legislatif suatu negara, karena lembaga eksekutif tidak bisa berjalan tanpa didasari aturan-aturan yang berlaku secara resmi, dalam hal ini dirumuskan oleh lembaga legislatif. Inilah perbedaan mendasar dan terpenting dari birokrasi mitigasi di Jepang dan Indonesia. Kekuasaan yudikatif pun diatur sedemikian rupa sehingga mampu memberi solusi atas rencana yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Amat berbeda di Indonesia di mana mereka masih sibuk berbicara mengenai koalisi partai, pembangunan gedung baru, dan agenda lain yang seharusnya bisa dikesampingkan karena tidak memberi pengaruh yang signifikan dalam membangun bangsa ini. Walaupun Indonesia telah memiliki UU no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, tidak ada satu pihak pun yang menganggap UU ini berarti sehingga membuat publik beropini untuk membuat UU mitigasi yang baru (Antara, 7 April 2010).
Itulah sekelumit kisah yang mewarnai tajuk dan opini koran baru-baru ini. Dan proyek ini segera disambut dengan “penghormatan” yang sudah umum dilakukan untuk mereka: protes dan kecaman. Tak heran, mengingat opini ini sudah jauh-jauh hari tidak disukai oleh berbagai kalangan dan alasan kemiringan 7 derajat pun tampaknya sedikit tidak normal (sekadar membandingkan, menara Pisa di Italia hanya memiliki kemiringan 3 derajat). Belum lagi jika kita menelaah kinerja para anggota dewan yang mendapat nilai merah di tahun sebelumnya, seperti bobroknya penegakan hukum, gagalnya penyelesaian 70 RUU prioritas, hingga pelesiran para anggota dewan yang terhormat di tengah bencana yang menimpa negeri ini.
Mengingat bencana-bencana yang menimpa negeri ini, siapa yang masih ingat dengan ulah para anggota dewan yang silih berganti melakukan berbagai perjalanan dan studi banding ke luar negeri di saat banjir menimpa Wasior, tsunami meluluhlantakkan Mentawai, dan Merapi mengamuk di Yogyakarta. Ditambah dengan pernyataan keras salah seorang pejabat teras di DPR yang menyalahkan korban tsunami di Mentawai, DPR seakan menjadi menara gading yang tidak peduli lagi dengan asal muasalnya, dengan tanah airnya, dan harapan-harapan rakyat yang ada di bawahnya.
Sungguh ironi, terutama karena berita ini justru datang ketika salah satu negara di pelosok dunia sedang menghadapi bencana yang (juga secara ironis) pernah disinggung oleh pejabat teras DPR tersebut. Tsunami. Satu kata yang sama, bencana yang sama, dihadapi oleh negara yang juga biasa mengalaminya, tetapi memiliki respons yang berbeda. Jika kita biasa melihat pejabat teras itu menyalahkan korban tsunami karena tinggal di tepi pantai, kita tidak akan pernah bisa menemukannya pada “saudara tua” kita tersebut. Bahkan, pemerintahnyalah yang terkesan “bertanggung jawab” atas bencana tersebut, dan hal ini dibuktikan dengan sistem penanganan pascabencana yang layak diacungi jempol.
Masyarakat Jepang, di tengah penderitaannya, masih bisa memberi pelajaran pada dunia, bagaimana rasa persaudaraan masih mengisi relung hati mereka. Mereka masih bisa antre dalam mendapatkan jatah makanan dan air bersih yang terbatas. Mereka masih bisa mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang diri mereka sendiri yang juga membutuhkannya. Dan menariknya, budaya ini tidak berkembang di suatu negara yang melecehkan penduduk yang terkena tsunami itu, padahal masih berada pada rumpun budaya timur yang mengagungkan perilaku luhur. Ada apa gerangan?
Jika kita kembali melihat pada substansi yang paling dasar, sebenarnya budaya itu tidak hilang di Indonesia. Pada kehidupan sehari-hari saja misalnya, kita masih sering melihat seorang anak muda memberikan tempat duduknya pada seorang tua dan budaya memberi kepada mereka yang membutuhkan. Terlepas dari pemberitaan media akhir-akhir ini, kita masih bisa merasakan, budaya itu belum hilang!
Namun, mengapa keramahan itu seakan sirna ketika bencana menghadang?
Sistem penanganan bencanalah yang menjadi jawaban atas masalah ini. Indonesia dan Jepang sama-sama berada pada pertemuan lempeng benua yang tidak stabil dan mengakibatkan bencana menjadi sesuatu yang biasa terjadi di negara-negara itu. Hanya saja, pemerintah Jepang sangat peduli dengan ancaman rutin itu, sedangkan Indonesia masih terlalu sibuk dengan retaknya koalisi dan gedung baru anggota dewan tersebut. Jepang membangun sistem penanganan yang melibatkan seluruh unsur yang dilibatkan secara terpadu ketika menghadapi bencana. Karena proses penanganan ini dilakukan secara terpadu dengan sistem yang dirancang secara sempurna, otomatis tidak ada kepanikan berarti ketika gempa terjadi. Mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika bencana datang, sehingga kepanikan bisa diminimalisasi dan proses penanganan bisa berjalan dengan lancar. Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan kolaborasi menyeluruh, baik antara sistem pemerintahan sendiri maupun dengan rakyatnya.
Penanganan bencana membutuhkan suatu sistem terpadu yang dirumuskan dengan serius oleh lembaga legislatif suatu negara, karena lembaga eksekutif tidak bisa berjalan tanpa didasari aturan-aturan yang berlaku secara resmi, dalam hal ini dirumuskan oleh lembaga legislatif. Inilah perbedaan mendasar dan terpenting dari birokrasi mitigasi di Jepang dan Indonesia. Kekuasaan yudikatif pun diatur sedemikian rupa sehingga mampu memberi solusi atas rencana yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Amat berbeda di Indonesia di mana mereka masih sibuk berbicara mengenai koalisi partai, pembangunan gedung baru, dan agenda lain yang seharusnya bisa dikesampingkan karena tidak memberi pengaruh yang signifikan dalam membangun bangsa ini. Walaupun Indonesia telah memiliki UU no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, tidak ada satu pihak pun yang menganggap UU ini berarti sehingga membuat publik beropini untuk membuat UU mitigasi yang baru (Antara, 7 April 2010).
Pembuatan sistem terpadu itu memang tidak mudah, dan memerlukan usaha dan pengorbanan yang tidak sedikit dari berbagai elemen dalam kehidupan bangsa, bahkan mungkin saja “megaproyek” ini berhenti di tengah jalan. Namun rakyat Indonesia sudah rindu melihat DPR yang tidak saja memikirkan keselamatan pribadi karena kemiringan gedungnya, tetapi juga keselamatan rakyatnya yang tinggal di daerah yang rawan akan terjadinya bencana. Kami sudah rindu melihat pemerintahan yang tidak lagi menyalahkan alam ataupun rakyatnya ketika bencana menerpa. Dan terlebih lagi, kami rindu melihat pemerintah yang berdiri di garda depan dalam penanganan bencana, bukan ormas, apalagi parpol dan segudang kepentingan asing yang mengekor di belakangnya. Harapan kami padamu.
Arief Kurniawan Jamal
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2010
Catatan: tulisan ini juga dimuat dalam rubrik Suara Mahasiswa Okezone.com. Link: http://kampus.okezone.com/read/2011/03/18/367/436418/peran-lembaga-legislatif-dalam-mitigasi-bencana-di-indonesia
Arief Kurniawan Jamal
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2010
Catatan: tulisan ini juga dimuat dalam rubrik Suara Mahasiswa Okezone.com. Link: http://kampus.okezone.com/read/2011/03/18/367/436418/peran-lembaga-legislatif-dalam-mitigasi-bencana-di-indonesia
No comments:
Post a Comment