Siang yang indah. Matahari bersinar cerah. Tetapi, siapa sangka, di tengah hari itu, seorang ibu paruh baya menangis mendengar sepotong kalimat yang beberapa bulan dahulu juga pernah didengarnya. Masih segar dalam ingatan, dugaan penipuan atas turunnya kadar trombosit dan secarik keluhan yang disampaikan melalui email, berujung pada koin-koin senilai 800 juta rupiah dan kemarahan publik pada sistem keadilan negeri ini. Ya, sungguh ironis, mengingat sang ibu sendiri pernah dibebaskan dalam kasus serupa. Benar-benar serupa, hanya beda satu kata: pidana dan perdata.
Beberapa hari sebelumnya, dua orang “kampung” yang tidak mengerti tentang gadget baru yang dibelinya dari Singapura, harus mendekam dalam jeruji besi. Ya, alasan klasik, gadget baru itu tidak punya manual bahasa Indonesia. Alhasil, pemerintah kembali harus merah kupingnya mendengar kritik-kritik tak bertanggung jawab dari rakyatnya. Memang, republik ini republik kritik, kalau nggak kritik nggak asik, apalagi jika gadget itu secara ironis juga dipakai oleh orang nomor satu negeri ini. Pemerintah yang malang.
Namun, jika kita berpikir lebih lanjut, sebenarnya kejadian-kejadian itu tidak sebesar yang diduga. Tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dana talangan Century senilai 6,7 triliun atau kicauan Nazaruddin dari belahan bumi antah berantah. Jika kejadiannya memang tak sebesar yang diduga, lantas mengapa kasus ini seakan menjadi besar dan menguras energi bangsa yang seharusnya bisa dialihkan untuk penyelesaian masalah-masalah lain yang jauh lebih penting?
Internet dan Revolusi
Sejarah membuktikan, perubahan dimulai dari pemuda. Banyak opini dan retorika yang lahir dari pikiran kritis mereka yang jenuh menunggu perubahan. Kemudian, pendapat mereka dituangkan dalam suatu media, memengaruhi siapa saja yang membacanya, dan akhirnya sebuah negara bergejolak. Akhirnya, sebuah perubahan lahir dari sebuah goresan pena yang tak jarang lahir dari sudut kamar yang gelap di tengah malam.
Setidaknya, itu yang dialami oleh Soe Hok Gie, tokoh kunci yang menumbangkan orde lama dengan tulisan-tulisan tajamnya. Terima kasih tentu harus dialamatkan pada media-media cetak yang telah menerima opininya, karena jika tidak ide-ide tersebut akan tenggelam bersama jasadnya di puncak Semeru dan menjadi tidak berguna. Dan bukan hanya Soe Hok Gie, para aktivis lain juga membutuhkannya.
Seiring berkembangnya waktu, akses informasi menjadi semakin cepat. Awalnya, tulisan-tulisan tersebut hanya dimuat di media cetak yang distribusinya juga terbatas. Ketika teknologi internet ditemukan, distribusi semakin meluas, waktu tempuh menjadi singkat, informasi baru dan update semakin mudah didapatkan. Arus informasi yang luas itu memungkinkan mereka bertukar pikiran dengan cepat, selain didukung oleh akses yang murah dan cepat. Sangat wajar jika teknologi baru ini menjadi primadona para mahasiswa untuk menyuarakan pendapatnya. Menurut Sentot E. Baskoro, informasi-informasi terbaru tentang kondisi politik terkini justru berkembang melalui email atau newsgroup, karena mustahil mengharapkan informasi akurat dari media-media cetak yang telah disensor oleh pemerintah. Perkembangan mutakhir selalu dikirimkan para mahasiswa di garis depan lewat komputer-komputer mereka dan disebarkan ke seluruh dunia alih-alih radio yang digunakan saat revolusi fisik. Hasilnya? Rezim yang bertahta selama 32 tahun runtuh seketika.
Bukan hanya di Indonesia. Yang terakhir, revolusi yang terjadi di Timur Tengah juga diawali dari ribut-ribut soal seorang tukang sayur. Ya, hanya seorang tukang sayur. Namun, karena kondisi pemerintahan yang karut marut, ditambah dengan jurang pemisah yang sangat lebar antar strata ekonomi dan sosial, rasa ketidakpuasan rakyat memuncak dan melahirkan sebuah revolusi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Jurnalistik: Dari Kontrol Sosial hingga Menggiring Opini
Tak bisa dipungkiri, akses internet yang sangat cepat telah menghilangkan batas antara ruang dan waktu. Dengan kuota yang seakan tanpa batas, internet menawarkan suatu kemudahan dalam mengakses berita yang tidak ada pada media-media konvensional lainnya. Isu jumlah halaman yang sering membuat redaksi mencak-mencak telah menghilang, digantikan dengan isu update dan kebenaran berita tersebut.
Berbicara soal kebenaran berita, tak jarang suatu media harus berurusan dengan pihak-pihak tertentu hanya karena kesalahan sang reporter. Tak heran, mengingat persaingan media-media online saat ini tergolong ketat, sehingga info sekecil apapun akan dipublikasikan walaupun kebenarannya masih diragukan. Selain itu, perkembangan media-media sosial yang lain, seperti Facebook dan Twitter, telah mengubah peran media itu sendiri.
Tentu merupakan sebuah kemunduran, mengingat peran media yang telah dijalani sebelumnya. Kemajuan zaman membuat perubahan terjadi hampir di seluruh aspek dalam waktu singkat dan menuntut informasi harus sampai dalam waktu cepat. Dengan potensi yang begitu besar, tak jarang suatu media menjadi lahan bisnis dengan berita-berita yang ditawarkan. Semakin banyak informasi penting dan menarik yang ada pada media tersebut, semakin tinggi rating dan jumlah akses, semakin banyak iklan yang masuk, dan semakin besar keuntungan yang didapat. Juga tak jarang, media-media tersebut dibeli oleh beberapa kalangan dari latar belakang tertentu, seperti politik, agama, dan sosial-budaya. Parahnya, tak jarang pemerintah juga ikut campur dalam lahan ini sebagai pencitraan, adu argumen, menjatuhkan lawan-lawan politik, hingga pengalihan isu dan penggiringan opini.
Sungguh ironis, karena pers, jurnalistik, dan media-media informasi tidak lagi dianggap sesuatu yang netral, melainkan hanya sebagai media propaganda, alat pencitraan, dan corong-corong opini orang berpunya. Hal ini jelas merupakan sebuah pelanggaran, karena selain melanggar kode etik jurnalistik pasal 1 dan pasal 3, juga bertentangan dengan tujuan umum UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai kontrol sosial dengan berlindung pada pasal-pasal lainnya secara umum tentang kebebasan pers. Selain itu, banyak penyimpangan yang terjadi, terutama pada pasal 6 tentang peranan-peranan pers.
Refleksi Diri
Tak bisa dipungkiri, kehadiran internet telah banyak memberi warna perubahan, tidak hanya pada pers dan jurnalistik, tetapi juga sejarah bangsa ini. Namun, perubahan tersebut akan memberi dampak negatif jika tidak dibarengi dengan sejumlah tindakan. Salah satunya adalah dengan kembali pada kode-kode etik jurnalistik yang telah disepakati sebelumnya. Undang-undang yang mengatur tentang pers (UU no. 40 tahun 1999 dan UU no. 32 tahun 2002) perlu direvisi ulang, karena terdapat celah-celah hukum yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pelanggaran. Selain itu, UU ITE yang telah disahkan sebelumnya harus dimaksimalisasi, jangan hanya dijadikan sebagai instrumen. Yang terakhir, partisipasi aktif dan kerendahhatian dari berbagai pihak sangat diperlukan, terutama untuk mencapai tujuan utama dari jurnalistik sebagai kontrol sosial, bukan sebagai corong opini atau pencitraan belaka.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Korespondensi bisa dilakukan via email ke laskar_jidad@yahoo.co.id.
Wednesday, July 27, 2011
Sunday, July 10, 2011
桜見丘 (Hill to Viewing Sakura Blossom)
Hai hai, kawan. Jika engkau melihat judul catatan ini, engkau pasti akan heran sendiri. Ya, sama seperti saya. Kenapa? Karena ini adalah pertama kalinya saya menuliskan judul tulisan saya dengan kanji. Yups, perdana. Sebelumnya tidak pernah. Lantas, mengapa tiba-tiba begini?
Tak penting untuk dibahas, toh juga tidak ada gunanya. Jauh lebih penting membahas tentang rengekan ketua DPR kita yang terhormat kepada bapak presiden kita yang tercinta soal debat kusir para elite di acara Jakarta Lawyers Club di salah satu televisi swasta malam lalu.
Tapi, apa iya?
Ada benarnya, dan ada juga salahnya. Benar, karena jika kita mau memahami intrik yang tengah terjadi di tengah arus analitik politik, andai seorang presiden diberikan tekanan sedemikian rupa sehingga mencapai titik kulminasi tertentu, kinerja sistem saraf perifer dan pusatnya akan terganggu sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi fisiologisnya denga baik. Nah, ketidakmampuan tubuh sang presiden tersebut akan memicu gagalnya fungsi-fungsi faal lainnya, sehingga..... (mohon jangan samakan dengan "ketidakwarasan"). Yups, teori yang sungguh mengagumkan, tetapi sayang, itu hanya dari sudut pandang sang pemimpi yang belum tentu dikenal oleh subyek yang baru saja dibahasnya. Ahay...
Itu baru dari satu sisi benarnya. Jika dari sisi lainnya?
(lagi-lagi), kenapa anak FK ngemeng gituan?
Dan lagi-lagi, tak penting untuk dibahas. Toh tompi juga anak FK, tapi ada yang memanggilnya dengan dr. Tompi? Hahaha, lelucon baru. Yups, dan Rasulullah sendiri juga seorang pedagang, penggembala. Tetapi adakah yang memanggil beliau dengan panggilan itu? Tidak, bahkan Allah sendiri memuliakan panggilan beliau, diukir dalam kalam terindah sepanjang masa...
Allahumma shalli 'alaa muhammad...
***
Kembali ke laptop (lho?). Sedikit lagi teori. Saya mengetik tulisan ini di laptop, jadi apa salahnya?
Hahaha, dan sekali lagi (dan lagi), lupakan sajalah soal humor-humor garing ini, karena saya bukan seorang pelawak. Hm... benar sekali. Saya memang tidak punya bakat menjadi seoraang pelawak, tetapi saya ingin memiliki rasa humor yang dimiliki olehnya. Karena itu saya menulis humor-humor kering di atas. Setidaknya, ada yang mengatakan bahwa humor-humor saya lumayan bagus, dan menjadi sedikit hiburan jika saya diledek oleh ahlinya, sama seperti impian saya yang lain. Tidak muluk-muluk. Hanya ingin melihat bunga sakura mekar di bukit itu...
***
桜見丘。Sakura mioka. Hill for look sakura blossom. Sebuah bukit untuk melihat bunga sakura yang sedang mekar. Ya, hanya seuntai kalimat sederhana. Sebuah untaian doa sederhana seorang anak kampung sederhana, yang ingin sekali melihat bunga itu mekar di tanah asalnya...
Jika kita mau berpikir, hanya melihat bunga sakura? Tentu tidak, saudaraku. Jika hanya itu, aku bisa menyuruh saudaraku, Indra Fahlevi, untuk membawanya pulang dari Jepang beberapa waktu lalu. Lantas, mauku apa?
Tamat dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan melanjutkan studi di negara itu.
Sungguh sederhana, bukan?
***
"Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: ‘apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?’ katakanlah: ‘sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.’ mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: ‘sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.’ katakanlah: ‘sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.’ dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah maha mengetahui isi hati.” (Ali-Imran: 154)
***
Tiada yang mustahil bukan? Ya, sama seperti runtuhya rezim Mubarak, hancurnya Yugoslavia, atau krisis ekonomi Yunani. Dan bicara takdir?
Ya, memang mustahil, tetapi, sungguh, makar Allah jauh lebih baik dari makar-makar mereka...
Dan bermimpilah, karena tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu (Andrea Hirata)
Dan jika berbicara mimpi anak manusia, semuanya boleh bermimpi, bukan? Dan segala sesuatu itu dimulai dari mimpi. Jadi, kenapa harus malu? Napoleon saja pernah menghabiskan waktunya selama berjam-jam, menghayal, bermimpi tentag eropa yang tunduk di bawah kakinya, sampai ditertawakan oleh orang-orang di sekelilingnya.
Dan yang terjadi adalah apa yang dibayangkannya beberapa tahun silam...
Dan sungguh, Allah Maha Mendengar, maka bisikkanlah mimpi-mimpi itu, saudaraku, dalam sujud-sujud panjang kita, di penghujung malam itu...
姿を捜して 長い坂をのぼる
どこで待ってるの 早くむかえに来て
ねえ声を聞かせて この手にまた触れて
ここで待ってるよ 桜のふる丘で。。。
Kelak, bunga ini akan menjadi saksi, insya allah... Amin...
Tak penting untuk dibahas, toh juga tidak ada gunanya. Jauh lebih penting membahas tentang rengekan ketua DPR kita yang terhormat kepada bapak presiden kita yang tercinta soal debat kusir para elite di acara Jakarta Lawyers Club di salah satu televisi swasta malam lalu.
Tapi, apa iya?
Ada benarnya, dan ada juga salahnya. Benar, karena jika kita mau memahami intrik yang tengah terjadi di tengah arus analitik politik, andai seorang presiden diberikan tekanan sedemikian rupa sehingga mencapai titik kulminasi tertentu, kinerja sistem saraf perifer dan pusatnya akan terganggu sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi fisiologisnya denga baik. Nah, ketidakmampuan tubuh sang presiden tersebut akan memicu gagalnya fungsi-fungsi faal lainnya, sehingga..... (mohon jangan samakan dengan "ketidakwarasan"). Yups, teori yang sungguh mengagumkan, tetapi sayang, itu hanya dari sudut pandang sang pemimpi yang belum tentu dikenal oleh subyek yang baru saja dibahasnya. Ahay...
Itu baru dari satu sisi benarnya. Jika dari sisi lainnya?
(lagi-lagi), kenapa anak FK ngemeng gituan?
Dan lagi-lagi, tak penting untuk dibahas. Toh tompi juga anak FK, tapi ada yang memanggilnya dengan dr. Tompi? Hahaha, lelucon baru. Yups, dan Rasulullah sendiri juga seorang pedagang, penggembala. Tetapi adakah yang memanggil beliau dengan panggilan itu? Tidak, bahkan Allah sendiri memuliakan panggilan beliau, diukir dalam kalam terindah sepanjang masa...
Allahumma shalli 'alaa muhammad...
***
Kembali ke laptop (lho?). Sedikit lagi teori. Saya mengetik tulisan ini di laptop, jadi apa salahnya?
Hahaha, dan sekali lagi (dan lagi), lupakan sajalah soal humor-humor garing ini, karena saya bukan seorang pelawak. Hm... benar sekali. Saya memang tidak punya bakat menjadi seoraang pelawak, tetapi saya ingin memiliki rasa humor yang dimiliki olehnya. Karena itu saya menulis humor-humor kering di atas. Setidaknya, ada yang mengatakan bahwa humor-humor saya lumayan bagus, dan menjadi sedikit hiburan jika saya diledek oleh ahlinya, sama seperti impian saya yang lain. Tidak muluk-muluk. Hanya ingin melihat bunga sakura mekar di bukit itu...
***
桜見丘。Sakura mioka. Hill for look sakura blossom. Sebuah bukit untuk melihat bunga sakura yang sedang mekar. Ya, hanya seuntai kalimat sederhana. Sebuah untaian doa sederhana seorang anak kampung sederhana, yang ingin sekali melihat bunga itu mekar di tanah asalnya...
Jika kita mau berpikir, hanya melihat bunga sakura? Tentu tidak, saudaraku. Jika hanya itu, aku bisa menyuruh saudaraku, Indra Fahlevi, untuk membawanya pulang dari Jepang beberapa waktu lalu. Lantas, mauku apa?
Tamat dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan melanjutkan studi di negara itu.
Sungguh sederhana, bukan?
***
"Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: ‘apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?’ katakanlah: ‘sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.’ mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: ‘sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.’ katakanlah: ‘sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.’ dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah maha mengetahui isi hati.” (Ali-Imran: 154)
***
Tiada yang mustahil bukan? Ya, sama seperti runtuhya rezim Mubarak, hancurnya Yugoslavia, atau krisis ekonomi Yunani. Dan bicara takdir?
Ya, memang mustahil, tetapi, sungguh, makar Allah jauh lebih baik dari makar-makar mereka...
Dan bermimpilah, karena tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu (Andrea Hirata)
Dan jika berbicara mimpi anak manusia, semuanya boleh bermimpi, bukan? Dan segala sesuatu itu dimulai dari mimpi. Jadi, kenapa harus malu? Napoleon saja pernah menghabiskan waktunya selama berjam-jam, menghayal, bermimpi tentag eropa yang tunduk di bawah kakinya, sampai ditertawakan oleh orang-orang di sekelilingnya.
Dan yang terjadi adalah apa yang dibayangkannya beberapa tahun silam...
Dan sungguh, Allah Maha Mendengar, maka bisikkanlah mimpi-mimpi itu, saudaraku, dalam sujud-sujud panjang kita, di penghujung malam itu...
姿を捜して 長い坂をのぼる
どこで待ってるの 早くむかえに来て
ねえ声を聞かせて この手にまた触れて
ここで待ってるよ 桜のふる丘で。。。

Kelak, bunga ini akan menjadi saksi, insya allah... Amin...
Saturday, July 9, 2011
Hanya Sebuah Catatan Sederhana, Tanpa Sebuah Nama
Ini masih soal mahasiswa yang tangannya kotor oleh tinta. Masih soal presiden yang terus saja menyuruh menangkap bendahara umum partainya, padahal mager doang. Dan masih soal rakyat yang tidak bisa membeli susu buat bayinya, tetapi bukan karena harga-harga yang tinggi, melainkan perang pendapat antara kemenkes dan IPB yang membuat kaum-kaum marginalis menjadi sangsi.
Ya sudahlah, toh banyak teman-temanku yang tidak ambil pusing dengan masalah-masalah diatas. Tapi, apa benar?
Tentu bukan 100%, karena teman-teman kastrat juga membahas masalah tersebut. Tetapi, tampaknya kasus Nazaruddin yang takut hartanya dikebiri, muktamar PPP yang dilangsungkan hari ini, serta isu politik mutakhir yang berkembang saat ini… banyak yang tidak peduli. Ya, benar! Ketika aparat penegak hukum menari di tengah rangkaian kata seperti yuridis formis, ad hoc, juncto, pidana, dan SUAP, rakyat sebenarnya telah berada pada titik kulminasi kebosanan yang segera memuntahkan kemarahan jika tidak ditangani dengan baik (sepertinya saya mengetahui pola kalimat yang terakhir…)
Ya, lupakan sajalah soal yurisdiksi dan seribu satu istilahnya yang seringkali membuat putusan hakim menjadi kontradiksi. Tapi, yang paling penting adalah…
Kenapa saya?
Ya, jika ada orang awam yang membaca tulisan diatas, mereka pasti menyangka bahwa saya adalah mahasiswa Fakultas Hukum, FISIP, atau sejenisnya. Ya… sungguh jawaban yang membuat hatiku miris, karena ketahuilah, bahwa saya adalah MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA!!!
Bengong?
Ya, tapi inilah saya. Saya hanya anak fakultas kedokteran yang bosan dengan nama-nama anatomis tubuh dan mencoba mencari pelampiasan dengan memaki-maki pemerintah dengan tulisan saya. Setidaknya, pelampiasan saya sedikit tidak waras, karena pemerintah yang tidak bersalah, bahkan tidak pernah mengenal saya, menjadi korban dari kemarahan yang sungguh tidak beralasan. Pemerintahku yang malang…
Tapi, tentu bukan itu saja, sahabatku. Jika disuruh memilih, menendang pintu kamarku atau memaki-maki pemerintah, jujur, aku lebih suka memilih opsi kedua. Kenapa? Butuh usaha ekstra (dan uang ekstra) untuk memperbaiki pintu kamar itu. Mahal…
Tapi (lagi), kenapa banyak sekali remaja-remaja di sinetron-sinetron yang mencampakkan kosmetiknya hanya karena tidak dibelikan sepeda? Padahal, kosmetik itu bisa dibeliin kerupuk lho…
Dan sekali lagi, lupakan sajalah soal humor-humor kering diatas. Toh saya juga tidak pandai melawak, dan tidak punya bakat sama sekali soal lawakan. Saya hanya mahasiswa biasa, tanpa prestasi luar biasa. Saya hanya orang kebanyakan, yang hanya berharap sebuah perubahan datang pada bangsa yang sudah muak dengan korupsi dan kelaparan. Ya, hanya manusia biasa, dengan ide-ide gila dan semangat yang luar biasa…
Dan jika ada orang yang bertanya, sampai kapan engkau terus seperti ini?
SAMPAI MATI!!!
Dan jika ada orang yang berargumen bahwa saya naïf, sah-sah saja. Jika ada yang beranggapan bahwa apa yang saya lakukan sia-sia, silahkan, karena UUD pasal 28E telah mengaturnya. Tetapi, jika ada yang bertanya,
Kenapa engkau memilih jalan ini?
Yups. Aku tahu, mustahil bagi para pemerintahku yang terhormat untuk membaca tulisan ini. tapi aku berharap, suatu saat, tulisanku dibaca oleh mereka. Dan aku berharap, mereka mau menerima sedikit masukan dariku, seorang mahasiswa biasa. Dan kelak, jika aku dihisab oleh Sang Maha Pencipta, aku hanya berharap, sedikit pahala mengalir dari jerih payah itu…
Jika aku masih bisa memberi, walaupun sedikit, untuk dunia ini, mengapa tidak?
Dan sungguh sederhana kan? Sejujurnya, aku tak pernah berniat menjadi menteri kesehatan. Aku memang sering disuruh menjadi anggota dewan, tapi aku tak sudi. Tak rela melihat jutaan rakyat menangis sia-sia hanya karena aku lupa memberikan tanda tangan pada rancangan undang-undang jaminan kesehatan. Apalagi presiden. Apalagi sekjen PBB. Aku hanya ingin melihat negeri ini kembali tersenyum, melihat orang-orang itu tak lagi meneteskan air mata hanya karena perut yang belum diisi sejak pagi…
Dan aku merindukan sebuah pertemuan di surga nanti. Ya, dimana tak ada lagi keluh kesah. Tak ada lagi penderitaan. Yang ada hanya cerita. Sebuah cerita tentang perjuangan. Sebuah cerita tentang darah dan air mata. Dan sebuah cerita, tentang sejuta cinta yang telah dijanjikan Allah kepada kita…
Dan sekarang, jika aku boleh bertanya…
Sudah siapkah diriku untuk menuju ke sana?

(hanya sebuah renungan)
Ya sudahlah, toh banyak teman-temanku yang tidak ambil pusing dengan masalah-masalah diatas. Tapi, apa benar?
Tentu bukan 100%, karena teman-teman kastrat juga membahas masalah tersebut. Tetapi, tampaknya kasus Nazaruddin yang takut hartanya dikebiri, muktamar PPP yang dilangsungkan hari ini, serta isu politik mutakhir yang berkembang saat ini… banyak yang tidak peduli. Ya, benar! Ketika aparat penegak hukum menari di tengah rangkaian kata seperti yuridis formis, ad hoc, juncto, pidana, dan SUAP, rakyat sebenarnya telah berada pada titik kulminasi kebosanan yang segera memuntahkan kemarahan jika tidak ditangani dengan baik (sepertinya saya mengetahui pola kalimat yang terakhir…)
Ya, lupakan sajalah soal yurisdiksi dan seribu satu istilahnya yang seringkali membuat putusan hakim menjadi kontradiksi. Tapi, yang paling penting adalah…
Kenapa saya?
Ya, jika ada orang awam yang membaca tulisan diatas, mereka pasti menyangka bahwa saya adalah mahasiswa Fakultas Hukum, FISIP, atau sejenisnya. Ya… sungguh jawaban yang membuat hatiku miris, karena ketahuilah, bahwa saya adalah MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA!!!
Bengong?
Ya, tapi inilah saya. Saya hanya anak fakultas kedokteran yang bosan dengan nama-nama anatomis tubuh dan mencoba mencari pelampiasan dengan memaki-maki pemerintah dengan tulisan saya. Setidaknya, pelampiasan saya sedikit tidak waras, karena pemerintah yang tidak bersalah, bahkan tidak pernah mengenal saya, menjadi korban dari kemarahan yang sungguh tidak beralasan. Pemerintahku yang malang…
Tapi, tentu bukan itu saja, sahabatku. Jika disuruh memilih, menendang pintu kamarku atau memaki-maki pemerintah, jujur, aku lebih suka memilih opsi kedua. Kenapa? Butuh usaha ekstra (dan uang ekstra) untuk memperbaiki pintu kamar itu. Mahal…
Tapi (lagi), kenapa banyak sekali remaja-remaja di sinetron-sinetron yang mencampakkan kosmetiknya hanya karena tidak dibelikan sepeda? Padahal, kosmetik itu bisa dibeliin kerupuk lho…
Dan sekali lagi, lupakan sajalah soal humor-humor kering diatas. Toh saya juga tidak pandai melawak, dan tidak punya bakat sama sekali soal lawakan. Saya hanya mahasiswa biasa, tanpa prestasi luar biasa. Saya hanya orang kebanyakan, yang hanya berharap sebuah perubahan datang pada bangsa yang sudah muak dengan korupsi dan kelaparan. Ya, hanya manusia biasa, dengan ide-ide gila dan semangat yang luar biasa…
Dan jika ada orang yang bertanya, sampai kapan engkau terus seperti ini?
SAMPAI MATI!!!
Dan jika ada orang yang berargumen bahwa saya naïf, sah-sah saja. Jika ada yang beranggapan bahwa apa yang saya lakukan sia-sia, silahkan, karena UUD pasal 28E telah mengaturnya. Tetapi, jika ada yang bertanya,
Kenapa engkau memilih jalan ini?
Yups. Aku tahu, mustahil bagi para pemerintahku yang terhormat untuk membaca tulisan ini. tapi aku berharap, suatu saat, tulisanku dibaca oleh mereka. Dan aku berharap, mereka mau menerima sedikit masukan dariku, seorang mahasiswa biasa. Dan kelak, jika aku dihisab oleh Sang Maha Pencipta, aku hanya berharap, sedikit pahala mengalir dari jerih payah itu…
Jika aku masih bisa memberi, walaupun sedikit, untuk dunia ini, mengapa tidak?
Dan sungguh sederhana kan? Sejujurnya, aku tak pernah berniat menjadi menteri kesehatan. Aku memang sering disuruh menjadi anggota dewan, tapi aku tak sudi. Tak rela melihat jutaan rakyat menangis sia-sia hanya karena aku lupa memberikan tanda tangan pada rancangan undang-undang jaminan kesehatan. Apalagi presiden. Apalagi sekjen PBB. Aku hanya ingin melihat negeri ini kembali tersenyum, melihat orang-orang itu tak lagi meneteskan air mata hanya karena perut yang belum diisi sejak pagi…
Dan aku merindukan sebuah pertemuan di surga nanti. Ya, dimana tak ada lagi keluh kesah. Tak ada lagi penderitaan. Yang ada hanya cerita. Sebuah cerita tentang perjuangan. Sebuah cerita tentang darah dan air mata. Dan sebuah cerita, tentang sejuta cinta yang telah dijanjikan Allah kepada kita…
Dan sekarang, jika aku boleh bertanya…
Sudah siapkah diriku untuk menuju ke sana?

(hanya sebuah renungan)
Subscribe to:
Posts (Atom)