Wednesday, July 27, 2011

Internet dan Jurnalistik: Sebuah Catatan Kritis

Siang yang indah. Matahari bersinar cerah. Tetapi, siapa sangka, di tengah hari itu, seorang ibu paruh baya menangis mendengar sepotong kalimat yang beberapa bulan dahulu juga pernah didengarnya. Masih segar dalam ingatan, dugaan penipuan atas turunnya kadar trombosit dan secarik keluhan yang disampaikan melalui email, berujung pada koin-koin senilai 800 juta rupiah dan kemarahan publik pada sistem keadilan negeri ini. Ya, sungguh ironis, mengingat sang ibu sendiri pernah dibebaskan dalam kasus serupa. Benar-benar serupa, hanya beda satu kata: pidana dan perdata.

Beberapa hari sebelumnya, dua orang “kampung” yang tidak mengerti tentang gadget baru yang dibelinya dari Singapura, harus mendekam dalam jeruji besi. Ya, alasan klasik, gadget baru itu tidak punya manual bahasa Indonesia. Alhasil, pemerintah kembali harus merah kupingnya mendengar kritik-kritik tak bertanggung jawab dari rakyatnya. Memang, republik ini republik kritik, kalau nggak kritik nggak asik, apalagi jika gadget itu secara ironis juga dipakai oleh orang nomor satu negeri ini. Pemerintah yang malang.

Namun, jika kita berpikir lebih lanjut, sebenarnya kejadian-kejadian itu tidak sebesar yang diduga. Tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dana talangan Century senilai 6,7 triliun atau kicauan Nazaruddin dari belahan bumi antah berantah. Jika kejadiannya memang tak sebesar yang diduga, lantas mengapa kasus ini seakan menjadi besar dan menguras energi bangsa yang seharusnya bisa dialihkan untuk penyelesaian masalah-masalah lain yang jauh lebih penting?

Internet dan Revolusi


Sejarah membuktikan, perubahan dimulai dari pemuda. Banyak opini dan retorika yang lahir dari pikiran kritis mereka yang jenuh menunggu perubahan. Kemudian, pendapat mereka dituangkan dalam suatu media, memengaruhi siapa saja yang membacanya, dan akhirnya sebuah negara bergejolak. Akhirnya, sebuah perubahan lahir dari sebuah goresan pena yang tak jarang lahir dari sudut kamar yang gelap di tengah malam.

Setidaknya, itu yang dialami oleh Soe Hok Gie, tokoh kunci yang menumbangkan orde lama dengan tulisan-tulisan tajamnya. Terima kasih tentu harus dialamatkan pada media-media cetak yang telah menerima opininya, karena jika tidak ide-ide tersebut akan tenggelam bersama jasadnya di puncak Semeru dan menjadi tidak berguna. Dan bukan hanya Soe Hok Gie, para aktivis lain juga membutuhkannya.

Seiring berkembangnya waktu, akses informasi menjadi semakin cepat. Awalnya, tulisan-tulisan tersebut hanya dimuat di media cetak yang distribusinya juga terbatas. Ketika teknologi internet ditemukan, distribusi semakin meluas, waktu tempuh menjadi singkat, informasi baru dan update semakin mudah didapatkan. Arus informasi yang luas itu memungkinkan mereka bertukar pikiran dengan cepat, selain didukung oleh akses yang murah dan cepat. Sangat wajar jika teknologi baru ini menjadi primadona para mahasiswa untuk menyuarakan pendapatnya. Menurut Sentot E. Baskoro, informasi-informasi terbaru tentang kondisi politik terkini justru berkembang melalui email atau newsgroup, karena mustahil mengharapkan informasi akurat dari media-media cetak yang telah disensor oleh pemerintah. Perkembangan mutakhir selalu dikirimkan para mahasiswa di garis depan lewat komputer-komputer mereka dan disebarkan ke seluruh dunia alih-alih radio yang digunakan saat revolusi fisik. Hasilnya? Rezim yang bertahta selama 32 tahun runtuh seketika.

Bukan hanya di Indonesia. Yang terakhir, revolusi yang terjadi di Timur Tengah juga diawali dari ribut-ribut soal seorang tukang sayur. Ya, hanya seorang tukang sayur. Namun, karena kondisi pemerintahan yang karut marut, ditambah dengan jurang pemisah yang sangat lebar antar strata ekonomi dan sosial, rasa ketidakpuasan rakyat memuncak dan melahirkan sebuah revolusi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Jurnalistik: Dari Kontrol Sosial hingga Menggiring Opini

Tak bisa dipungkiri, akses internet yang sangat cepat telah menghilangkan batas antara ruang dan waktu. Dengan kuota yang seakan tanpa batas, internet menawarkan suatu kemudahan dalam mengakses berita yang tidak ada pada media-media konvensional lainnya. Isu jumlah halaman yang sering membuat redaksi mencak-mencak telah menghilang, digantikan dengan isu update dan kebenaran berita tersebut.

Berbicara soal kebenaran berita, tak jarang suatu media harus berurusan dengan pihak-pihak tertentu hanya karena kesalahan sang reporter. Tak heran, mengingat persaingan media-media online saat ini tergolong ketat, sehingga info sekecil apapun akan dipublikasikan walaupun kebenarannya masih diragukan. Selain itu, perkembangan media-media sosial yang lain, seperti Facebook dan Twitter, telah mengubah peran media itu sendiri.

Tentu merupakan sebuah kemunduran, mengingat peran media yang telah dijalani sebelumnya. Kemajuan zaman membuat perubahan terjadi hampir di seluruh aspek dalam waktu singkat dan menuntut informasi harus sampai dalam waktu cepat. Dengan potensi yang begitu besar, tak jarang suatu media menjadi lahan bisnis dengan berita-berita yang ditawarkan. Semakin banyak informasi penting dan menarik yang ada pada media tersebut, semakin tinggi rating dan jumlah akses, semakin banyak iklan yang masuk, dan semakin besar keuntungan yang didapat. Juga tak jarang, media-media tersebut dibeli oleh beberapa kalangan dari latar belakang tertentu, seperti politik, agama, dan sosial-budaya. Parahnya, tak jarang pemerintah juga ikut campur dalam lahan ini sebagai pencitraan, adu argumen, menjatuhkan lawan-lawan politik, hingga pengalihan isu dan penggiringan opini.

Sungguh ironis, karena pers, jurnalistik, dan media-media informasi tidak lagi dianggap sesuatu yang netral, melainkan hanya sebagai media propaganda, alat pencitraan, dan corong-corong opini orang berpunya. Hal ini jelas merupakan sebuah pelanggaran, karena selain melanggar kode etik jurnalistik pasal 1 dan pasal 3, juga bertentangan dengan tujuan umum UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai kontrol sosial dengan berlindung pada pasal-pasal lainnya secara umum tentang kebebasan pers. Selain itu, banyak penyimpangan yang terjadi, terutama pada pasal 6 tentang peranan-peranan pers.

Refleksi Diri

Tak bisa dipungkiri, kehadiran internet telah banyak memberi warna perubahan, tidak hanya pada pers dan jurnalistik, tetapi juga sejarah bangsa ini. Namun, perubahan tersebut akan memberi dampak negatif jika tidak dibarengi dengan sejumlah tindakan. Salah satunya adalah dengan kembali pada kode-kode etik jurnalistik yang telah disepakati sebelumnya. Undang-undang yang mengatur tentang pers (UU no. 40 tahun 1999 dan UU no. 32 tahun 2002) perlu direvisi ulang, karena terdapat celah-celah hukum yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pelanggaran. Selain itu, UU ITE yang telah disahkan sebelumnya harus dimaksimalisasi, jangan hanya dijadikan sebagai instrumen. Yang terakhir, partisipasi aktif dan kerendahhatian dari berbagai pihak sangat diperlukan, terutama untuk mencapai tujuan utama dari jurnalistik sebagai kontrol sosial, bukan sebagai corong opini atau pencitraan belaka.

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Korespondensi bisa dilakukan via email ke laskar_jidad@yahoo.co.id.

No comments:

Post a Comment