Saturday, July 9, 2011

Hanya Sebuah Catatan Sederhana, Tanpa Sebuah Nama

Ini masih soal mahasiswa yang tangannya kotor oleh tinta. Masih soal presiden yang terus saja menyuruh menangkap bendahara umum partainya, padahal mager doang. Dan masih soal rakyat yang tidak bisa membeli susu buat bayinya, tetapi bukan karena harga-harga yang tinggi, melainkan perang pendapat antara kemenkes dan IPB yang membuat kaum-kaum marginalis menjadi sangsi.

Ya sudahlah, toh banyak teman-temanku yang tidak ambil pusing dengan masalah-masalah diatas. Tapi, apa benar?

Tentu bukan 100%, karena teman-teman kastrat juga membahas masalah tersebut. Tetapi, tampaknya kasus Nazaruddin yang takut hartanya dikebiri, muktamar PPP yang dilangsungkan hari ini, serta isu politik mutakhir yang berkembang saat ini… banyak yang tidak peduli. Ya, benar! Ketika aparat penegak hukum menari di tengah rangkaian kata seperti yuridis formis, ad hoc, juncto, pidana, dan SUAP, rakyat sebenarnya telah berada pada titik kulminasi kebosanan yang segera memuntahkan kemarahan jika tidak ditangani dengan baik (sepertinya saya mengetahui pola kalimat yang terakhir…)

Ya, lupakan sajalah soal yurisdiksi dan seribu satu istilahnya yang seringkali membuat putusan hakim menjadi kontradiksi. Tapi, yang paling penting adalah…

Kenapa saya?

Ya, jika ada orang awam yang membaca tulisan diatas, mereka pasti menyangka bahwa saya adalah mahasiswa Fakultas Hukum, FISIP, atau sejenisnya. Ya… sungguh jawaban yang membuat hatiku miris, karena ketahuilah, bahwa saya adalah MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA!!!

Bengong?

Ya, tapi inilah saya. Saya hanya anak fakultas kedokteran yang bosan dengan nama-nama anatomis tubuh dan mencoba mencari pelampiasan dengan memaki-maki pemerintah dengan tulisan saya. Setidaknya, pelampiasan saya sedikit tidak waras, karena pemerintah yang tidak bersalah, bahkan tidak pernah mengenal saya, menjadi korban dari kemarahan yang sungguh tidak beralasan. Pemerintahku yang malang…

Tapi, tentu bukan itu saja, sahabatku. Jika disuruh memilih, menendang pintu kamarku atau memaki-maki pemerintah, jujur, aku lebih suka memilih opsi kedua. Kenapa? Butuh usaha ekstra (dan uang ekstra) untuk memperbaiki pintu kamar itu. Mahal…

Tapi (lagi), kenapa banyak sekali remaja-remaja di sinetron-sinetron yang mencampakkan kosmetiknya hanya karena tidak dibelikan sepeda? Padahal, kosmetik itu bisa dibeliin kerupuk lho…

Dan sekali lagi, lupakan sajalah soal humor-humor kering diatas. Toh saya juga tidak pandai melawak, dan tidak punya bakat sama sekali soal lawakan. Saya hanya mahasiswa biasa, tanpa prestasi luar biasa. Saya hanya orang kebanyakan, yang hanya berharap sebuah perubahan datang pada bangsa yang sudah muak dengan korupsi dan kelaparan. Ya, hanya manusia biasa, dengan ide-ide gila dan semangat yang luar biasa…

Dan jika ada orang yang bertanya, sampai kapan engkau terus seperti ini?

SAMPAI MATI!!!

Dan jika ada orang yang berargumen bahwa saya naïf, sah-sah saja. Jika ada yang beranggapan bahwa apa yang saya lakukan sia-sia, silahkan, karena UUD pasal 28E telah mengaturnya. Tetapi, jika ada yang bertanya,

Kenapa engkau memilih jalan ini?

Yups. Aku tahu, mustahil bagi para pemerintahku yang terhormat untuk membaca tulisan ini. tapi aku berharap, suatu saat, tulisanku dibaca oleh mereka. Dan aku berharap, mereka mau menerima sedikit masukan dariku, seorang mahasiswa biasa. Dan kelak, jika aku dihisab oleh Sang Maha Pencipta, aku hanya berharap, sedikit pahala mengalir dari jerih payah itu…

Jika aku masih bisa memberi, walaupun sedikit, untuk dunia ini, mengapa tidak?

Dan sungguh sederhana kan? Sejujurnya, aku tak pernah berniat menjadi menteri kesehatan. Aku memang sering disuruh menjadi anggota dewan, tapi aku tak sudi. Tak rela melihat jutaan rakyat menangis sia-sia hanya karena aku lupa memberikan tanda tangan pada rancangan undang-undang jaminan kesehatan. Apalagi presiden. Apalagi sekjen PBB. Aku hanya ingin melihat negeri ini kembali tersenyum, melihat orang-orang itu tak lagi meneteskan air mata hanya karena perut yang belum diisi sejak pagi…

Dan aku merindukan sebuah pertemuan di surga nanti. Ya, dimana tak ada lagi keluh kesah. Tak ada lagi penderitaan. Yang ada hanya cerita. Sebuah cerita tentang perjuangan. Sebuah cerita tentang darah dan air mata. Dan sebuah cerita, tentang sejuta cinta yang telah dijanjikan Allah kepada kita…

Dan sekarang, jika aku boleh bertanya…
Sudah siapkah diriku untuk menuju ke sana?





(hanya sebuah renungan)

No comments:

Post a Comment