Saturday, November 12, 2011

Wordpress, wordpress, wordpress...




Sudah beberapa minggu dari rencana awal: men-demolish blog ini. Tapi nggak pernah tega. Soalnya kenangan bersamanya sungguh indah. Hohoho…

Simpelnya, blog ini tidak bisa dibaca dari mobile device. Berbeda dengan wordpress. Karena itu? Ya, hanya karena itu. Sungguh alasan yang tidak bisa disebut sebagai alasan.

Sebenarnya tidak juga, karena wordpress menawarkan berbagai hal yang tidak ditawarkan oleh blogger, kecuali satu. Follower.

Karena blog bukan Facebook atau Twitter…

Ya, terserahlah. Toh jika aku menyuruh orang-orang ramai-ramai pindah ke wordpress, mereka juga tidak akan mendengar. Alif Rahmadanil, saudara IQ ku yang gejeme, berlemak, dan lainnya (afwan ^^v) pun membuat blognya di blogger. Ternyata, aku melawan arus perubahan zaman! Ya sudahlah, lupakan saja…

Ya sudah, karena aku terlalu jatuh hati dengan wordpress dan kenangan di blog ini, aku posting di dua-duanya aja deh.. blog ini ga jadi di-demolish. Puas, puas? (peace ^^v)

Tapi, tetap saja, wordpress tetap yang terbaik…. J

Saturday, September 17, 2011

さようなら. Selamat Tinggal...

Tidak terasa, hampir satu tahun (mungkin lebih) blog ini diurus. Banyak suka dukanya. Mulai dari saat dimana lagi semangat-semangatnya nulis sampai udah dua bulan ga pernah dibuka. Dan sampailah saatnya, dimana seseorang harus pergi, karena kita memang harus pergi. Tak mungkin terus berdiam diri disini, sampai mati. Saya memohon maaf jika ada salah kata atau postingan yang membuat dendam di hati. Mungkin, inilah posting terakhir saya sebelum migrasi ke domain yang lebih baru. Sungguh, blog ini benar-benar berarti untuk saya, karena saya telah membuatnya semenjak SMA sembari belajar. Ya, waktu harus berlalu, dan semua pasti ada akhirnya...

Terima kasih, telah menjadi tempatku berbagi selama ini. Maaf jika ada salah dan khilaf di diri ini...

Assalamu'alaikum wr. wb.

さようなら。。。


(Disclaimer: Dengan ini, semua aktivitas di blog ini "http://muslim-aldebaran.blogspot.com" secara formal telah berakhir.  Akan tetapi, blog ini tidak akan dihapus dalam waktu dekat dengan beberapa pertimbangan. Untuk selanjutnya, teman-teman bisa follow blog saya yang lain di wordpress, link terlampir di bawah. Sekali lagi, terima kasih, telah menjadi tempatku berbagi...)

(silahkan klik gambar diatas untuk direct link ke blog baru saya)

Tuesday, August 16, 2011

Polisi dan Militer Negeri Ini: Sebuah Refleksi 65 Tahun Polri

Jika kita berbicara tentang polisi semasa kecil kita, hal pertama yang terbayang adalah seseorang dengan baju cokelat dan topi khasnya. Sebuah profesi yang selalu dilantunkan oleh suara-suara kecil di ruangan kelas, selain dokter dan lainnya. Seseorang yang berjuang tanpa kenal lelah, mengayomi masyarakat yang ada di sekitarnya. Tetapi, seiring berjalannya waktu, paradigma itu seakan berubah, dari sesuatu yang tanpa cela menjadi penuh dengan noda. Tentu bukan tanpa alasan, mengingat banyaknya pemberitaan miring terkait mereka akhir-akhir ini. Dari sekadar pungutan liar yang dilakukan segelintir oknum hingga yang terbaru, kasus iPad dan tabrakan yang melibatkan personel polwan. Seakan menambah daftar hitam keburukan-keburukan yang telah mereka lakukan selama ini.

Militer dan Arogansi Penguasa

Jika kita kembali berkaca pada tempoe doeloe, tepatnya pada zaman revolusi fisik, peran polisi tidak bisa dipandang sebelah mata. Terlalu bodoh melupakan peranan mereka dalam setiap pertempuran, baik dalam kontak senjata dengan pasukan penjajah atau sekadar melindungi suatu perkampungan dari penjarahan. Sembari berjalannya waktu dan pola perjuangan telah mulai berubah, kepolisian mulai berbenah, baik dalam tingkat struktural maupun lainnya. Walaupun berkembang saat Indonesia berada dalam periode sulit, mereka mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, terbukti dengan kemenangan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar dan mengakhiri nafsu pasukan-pasukan asing untuk kembali menguasai Indonesia. Andai saja polisi saat itu gagal mempertahankan wilayah-wilayah yang diamanatkan kepada mereka, tentu sejarah negeri ini akan jadi lain.

Masalahnya, penurunan kinerja kepolisian (dan militer secara umum) dimulai justru ketika Indonesia telah lepas dari belenggu itu. Dimulai dari era Demokrasi terpimpin, dimana saat itu Polri (yang masih bergabung dengan ABRI) mulai dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan para penguasa. Hal ini semakin kental dengan beralihnya sistem kekuasaan, dari orde lama menuju orde baru. Kita tentu masih ingat dengan tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah dengan militer sebagai alatnya, tak terkecuali Polri. Aspirasi rakyat dikekang dengan arogansi pihak penguasa yang tetap ingin zona nyamannya terusik. Puncaknya, reformasi pun pecah, mengorbankan empat mahasiswa sebagai tumbal atas keras kepalanya penguasa negeri ini, selain ratusan orang yang tewas dan hilang selama 32 tahun orde baru berkuasa.

Ironisnya, reformasi yang idealnya merupakan momentum tepat untuk melakukan perubahan menyeluruh di tingkat militer justru kembali dijadikan sarana untuk menggapai puncak kekuasaan. Memang, kalangan yang disorot bukan dari kepolisian, tetapi mereka tentu punya andil dalam fenomena ini walau sedikit. Hingga saat ini. Masih banyak kasus-kasus yang menarik pemberitaan dan menguras energi nasional yang seharusnya merupakan kasus kecil dan sepele. Namun, karena penanganan yang salah, kasus itu menimbulkan ketidakpuasan dan menyita perhatian publik. Hal ini jelas akan memengaruhi kinerja Polri sendiri, dimana pada suatu sisi mereka dituntut untuk menyelesaikan kasus tersebut secepatnya, sedangkan tekanan dan intervensi dari berbagai pihak terus berdatangan. Alhasil, sering sekali kasus-kasus seperti ini menjadi berlarut-larut dan agenda-agenda yang jauh lebih penting menjadi terlupakan. Bahkan, ada beberapa pihak yang menjadikanya sebagai pengalihan isu dan pencitraan belaka.

Jadi, bagaimana?

Introspeksi Diri

Ada sesuatu yang menarik pada Peringatan 65 Tahun Polri beberapa waktu yang lalu. Berbagai media memberitakan tentang perayaan sederhana yang dianggap merupakan tonggak awal bagi kepolisian yang lebih baik ke depannya. Sayangnya, citra baik itu segera luntur ketika kasus iPad mulai merebak di media massa. Sungguh ironis, terlebih ketika dasar hukum yang mengatur peredaran barang yang harus memuat manual book berbahasa Indonesia dipublikasikan (Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 22/M-DAG/PER/5/2010), kalangan akar rumput mengolok-olok dengan barang-barang yang ada di peraturan tersebut. Wajar, karena polisi bisa menangkap orang yang menjual kipas angin tanpa manual.

Keadaan ini semakin diperparah dengan ulah salah satu anggota polwan yang melaporkan salah satu wartawan media cetak dengan alasan penganiayaan, padahal kasus penabrakan yang terjadi sebelumnya sama sekali tidak diusut. Hal ini patut menjadi perhatian bersama, karena jika polisi tidak lagi mendapatkan kepercayaan oleh rakyat, bukan mustahil akan terjadi people power secara besar-besaran, seperti kasus cicak versus buaya terdahulu.

Hal-hal diatas tidak perlu terjadi jika polisi kembali pada landasan dasarnya: mengayomi rakyat. Profesionalisme polisi yang saat ini sering sekali diabaikan perlu kembali ditegakkan. Selain itu, keterlibatan dengan pihak penguasa yang sering sekali terlihat akhir-akhir ini juga harus dihentikan. Jangan sampai agenda-agenda yang telah direncanakan menjadi berantakan dengan arus kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Polisi juga harus mawas diri, siap dikritik dan menerima masukan andai diperlukan. Pembenahan , baik internal maupun eksternal, mutlak dilakukan guna kinerja kepolisian yang lebih baik ke depannya.

Akhirnya, selamat ulang tahun yang ke-65, polisiku yang terhormat. Selamat bertugas. Doa kami menyertaimu!

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Korespondensi bisa dilakukan via email ke laskar_jidad@yahoo.co.id.

Wednesday, July 27, 2011

Internet dan Jurnalistik: Sebuah Catatan Kritis

Siang yang indah. Matahari bersinar cerah. Tetapi, siapa sangka, di tengah hari itu, seorang ibu paruh baya menangis mendengar sepotong kalimat yang beberapa bulan dahulu juga pernah didengarnya. Masih segar dalam ingatan, dugaan penipuan atas turunnya kadar trombosit dan secarik keluhan yang disampaikan melalui email, berujung pada koin-koin senilai 800 juta rupiah dan kemarahan publik pada sistem keadilan negeri ini. Ya, sungguh ironis, mengingat sang ibu sendiri pernah dibebaskan dalam kasus serupa. Benar-benar serupa, hanya beda satu kata: pidana dan perdata.

Beberapa hari sebelumnya, dua orang “kampung” yang tidak mengerti tentang gadget baru yang dibelinya dari Singapura, harus mendekam dalam jeruji besi. Ya, alasan klasik, gadget baru itu tidak punya manual bahasa Indonesia. Alhasil, pemerintah kembali harus merah kupingnya mendengar kritik-kritik tak bertanggung jawab dari rakyatnya. Memang, republik ini republik kritik, kalau nggak kritik nggak asik, apalagi jika gadget itu secara ironis juga dipakai oleh orang nomor satu negeri ini. Pemerintah yang malang.

Namun, jika kita berpikir lebih lanjut, sebenarnya kejadian-kejadian itu tidak sebesar yang diduga. Tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dana talangan Century senilai 6,7 triliun atau kicauan Nazaruddin dari belahan bumi antah berantah. Jika kejadiannya memang tak sebesar yang diduga, lantas mengapa kasus ini seakan menjadi besar dan menguras energi bangsa yang seharusnya bisa dialihkan untuk penyelesaian masalah-masalah lain yang jauh lebih penting?

Internet dan Revolusi


Sejarah membuktikan, perubahan dimulai dari pemuda. Banyak opini dan retorika yang lahir dari pikiran kritis mereka yang jenuh menunggu perubahan. Kemudian, pendapat mereka dituangkan dalam suatu media, memengaruhi siapa saja yang membacanya, dan akhirnya sebuah negara bergejolak. Akhirnya, sebuah perubahan lahir dari sebuah goresan pena yang tak jarang lahir dari sudut kamar yang gelap di tengah malam.

Setidaknya, itu yang dialami oleh Soe Hok Gie, tokoh kunci yang menumbangkan orde lama dengan tulisan-tulisan tajamnya. Terima kasih tentu harus dialamatkan pada media-media cetak yang telah menerima opininya, karena jika tidak ide-ide tersebut akan tenggelam bersama jasadnya di puncak Semeru dan menjadi tidak berguna. Dan bukan hanya Soe Hok Gie, para aktivis lain juga membutuhkannya.

Seiring berkembangnya waktu, akses informasi menjadi semakin cepat. Awalnya, tulisan-tulisan tersebut hanya dimuat di media cetak yang distribusinya juga terbatas. Ketika teknologi internet ditemukan, distribusi semakin meluas, waktu tempuh menjadi singkat, informasi baru dan update semakin mudah didapatkan. Arus informasi yang luas itu memungkinkan mereka bertukar pikiran dengan cepat, selain didukung oleh akses yang murah dan cepat. Sangat wajar jika teknologi baru ini menjadi primadona para mahasiswa untuk menyuarakan pendapatnya. Menurut Sentot E. Baskoro, informasi-informasi terbaru tentang kondisi politik terkini justru berkembang melalui email atau newsgroup, karena mustahil mengharapkan informasi akurat dari media-media cetak yang telah disensor oleh pemerintah. Perkembangan mutakhir selalu dikirimkan para mahasiswa di garis depan lewat komputer-komputer mereka dan disebarkan ke seluruh dunia alih-alih radio yang digunakan saat revolusi fisik. Hasilnya? Rezim yang bertahta selama 32 tahun runtuh seketika.

Bukan hanya di Indonesia. Yang terakhir, revolusi yang terjadi di Timur Tengah juga diawali dari ribut-ribut soal seorang tukang sayur. Ya, hanya seorang tukang sayur. Namun, karena kondisi pemerintahan yang karut marut, ditambah dengan jurang pemisah yang sangat lebar antar strata ekonomi dan sosial, rasa ketidakpuasan rakyat memuncak dan melahirkan sebuah revolusi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Jurnalistik: Dari Kontrol Sosial hingga Menggiring Opini

Tak bisa dipungkiri, akses internet yang sangat cepat telah menghilangkan batas antara ruang dan waktu. Dengan kuota yang seakan tanpa batas, internet menawarkan suatu kemudahan dalam mengakses berita yang tidak ada pada media-media konvensional lainnya. Isu jumlah halaman yang sering membuat redaksi mencak-mencak telah menghilang, digantikan dengan isu update dan kebenaran berita tersebut.

Berbicara soal kebenaran berita, tak jarang suatu media harus berurusan dengan pihak-pihak tertentu hanya karena kesalahan sang reporter. Tak heran, mengingat persaingan media-media online saat ini tergolong ketat, sehingga info sekecil apapun akan dipublikasikan walaupun kebenarannya masih diragukan. Selain itu, perkembangan media-media sosial yang lain, seperti Facebook dan Twitter, telah mengubah peran media itu sendiri.

Tentu merupakan sebuah kemunduran, mengingat peran media yang telah dijalani sebelumnya. Kemajuan zaman membuat perubahan terjadi hampir di seluruh aspek dalam waktu singkat dan menuntut informasi harus sampai dalam waktu cepat. Dengan potensi yang begitu besar, tak jarang suatu media menjadi lahan bisnis dengan berita-berita yang ditawarkan. Semakin banyak informasi penting dan menarik yang ada pada media tersebut, semakin tinggi rating dan jumlah akses, semakin banyak iklan yang masuk, dan semakin besar keuntungan yang didapat. Juga tak jarang, media-media tersebut dibeli oleh beberapa kalangan dari latar belakang tertentu, seperti politik, agama, dan sosial-budaya. Parahnya, tak jarang pemerintah juga ikut campur dalam lahan ini sebagai pencitraan, adu argumen, menjatuhkan lawan-lawan politik, hingga pengalihan isu dan penggiringan opini.

Sungguh ironis, karena pers, jurnalistik, dan media-media informasi tidak lagi dianggap sesuatu yang netral, melainkan hanya sebagai media propaganda, alat pencitraan, dan corong-corong opini orang berpunya. Hal ini jelas merupakan sebuah pelanggaran, karena selain melanggar kode etik jurnalistik pasal 1 dan pasal 3, juga bertentangan dengan tujuan umum UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai kontrol sosial dengan berlindung pada pasal-pasal lainnya secara umum tentang kebebasan pers. Selain itu, banyak penyimpangan yang terjadi, terutama pada pasal 6 tentang peranan-peranan pers.

Refleksi Diri

Tak bisa dipungkiri, kehadiran internet telah banyak memberi warna perubahan, tidak hanya pada pers dan jurnalistik, tetapi juga sejarah bangsa ini. Namun, perubahan tersebut akan memberi dampak negatif jika tidak dibarengi dengan sejumlah tindakan. Salah satunya adalah dengan kembali pada kode-kode etik jurnalistik yang telah disepakati sebelumnya. Undang-undang yang mengatur tentang pers (UU no. 40 tahun 1999 dan UU no. 32 tahun 2002) perlu direvisi ulang, karena terdapat celah-celah hukum yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pelanggaran. Selain itu, UU ITE yang telah disahkan sebelumnya harus dimaksimalisasi, jangan hanya dijadikan sebagai instrumen. Yang terakhir, partisipasi aktif dan kerendahhatian dari berbagai pihak sangat diperlukan, terutama untuk mencapai tujuan utama dari jurnalistik sebagai kontrol sosial, bukan sebagai corong opini atau pencitraan belaka.

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Korespondensi bisa dilakukan via email ke laskar_jidad@yahoo.co.id.

Sunday, July 10, 2011

桜見丘 (Hill to Viewing Sakura Blossom)

Hai hai, kawan. Jika engkau melihat judul catatan ini, engkau pasti akan heran sendiri. Ya, sama seperti saya. Kenapa? Karena ini adalah pertama kalinya saya menuliskan judul tulisan saya dengan kanji. Yups, perdana. Sebelumnya tidak pernah. Lantas, mengapa tiba-tiba begini?

Tak penting untuk dibahas, toh juga tidak ada gunanya. Jauh lebih penting membahas tentang rengekan ketua DPR kita yang terhormat kepada bapak presiden kita yang tercinta soal debat kusir para elite di acara Jakarta Lawyers Club di salah satu televisi swasta malam lalu.

Tapi, apa iya?

Ada benarnya, dan ada juga salahnya. Benar, karena jika kita mau memahami intrik yang tengah terjadi di tengah arus analitik politik, andai seorang presiden diberikan tekanan sedemikian rupa sehingga mencapai titik kulminasi tertentu, kinerja sistem saraf perifer dan pusatnya akan terganggu sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi fisiologisnya denga baik. Nah, ketidakmampuan tubuh sang presiden tersebut akan memicu gagalnya fungsi-fungsi faal lainnya, sehingga..... (mohon jangan samakan dengan "ketidakwarasan"). Yups, teori yang sungguh mengagumkan, tetapi sayang, itu hanya dari sudut pandang sang pemimpi yang belum tentu dikenal oleh subyek yang baru saja dibahasnya. Ahay...

Itu baru dari satu sisi benarnya. Jika dari sisi lainnya?
(lagi-lagi), kenapa anak FK ngemeng gituan?

Dan lagi-lagi, tak penting untuk dibahas. Toh tompi juga anak FK, tapi ada yang memanggilnya dengan dr. Tompi? Hahaha, lelucon baru. Yups, dan Rasulullah sendiri juga seorang pedagang, penggembala. Tetapi adakah yang memanggil beliau dengan panggilan itu? Tidak, bahkan Allah sendiri memuliakan panggilan beliau, diukir dalam kalam terindah sepanjang masa...

Allahumma shalli 'alaa muhammad...

***

Kembali ke laptop (lho?). Sedikit lagi teori. Saya mengetik tulisan ini di laptop, jadi apa salahnya?

Hahaha, dan sekali lagi (dan lagi), lupakan sajalah soal humor-humor garing ini, karena saya bukan seorang pelawak. Hm... benar sekali. Saya memang tidak punya bakat menjadi seoraang pelawak, tetapi saya ingin memiliki rasa humor yang dimiliki olehnya. Karena itu saya menulis humor-humor kering di atas. Setidaknya, ada yang mengatakan bahwa humor-humor saya lumayan bagus, dan menjadi sedikit hiburan jika saya diledek oleh ahlinya, sama seperti impian saya yang lain. Tidak muluk-muluk. Hanya ingin melihat bunga sakura mekar di bukit itu...

***

桜見丘。Sakura mioka. Hill for look sakura blossom. Sebuah bukit untuk melihat bunga sakura yang sedang mekar. Ya, hanya seuntai kalimat sederhana. Sebuah untaian doa sederhana seorang anak kampung sederhana, yang ingin sekali melihat bunga itu mekar di tanah asalnya...

Jika kita mau berpikir, hanya melihat bunga sakura? Tentu tidak, saudaraku. Jika hanya itu, aku bisa menyuruh saudaraku, Indra Fahlevi, untuk membawanya pulang dari Jepang beberapa waktu lalu. Lantas, mauku apa?

Tamat dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan melanjutkan studi di negara itu.

Sungguh sederhana, bukan?

***

"Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: ‘apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?’ katakanlah: ‘sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.’ mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: ‘sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.’ katakanlah: ‘sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.’ dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah maha mengetahui isi hati.” (Ali-Imran: 154)

***

Tiada yang mustahil bukan? Ya, sama seperti runtuhya rezim Mubarak, hancurnya Yugoslavia, atau krisis ekonomi Yunani. Dan bicara takdir?
Ya, memang mustahil, tetapi, sungguh, makar Allah jauh lebih baik dari makar-makar mereka...
Dan bermimpilah, karena tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu (Andrea Hirata)

Dan jika berbicara mimpi anak manusia, semuanya boleh bermimpi, bukan? Dan segala sesuatu itu dimulai dari mimpi. Jadi, kenapa harus malu? Napoleon saja pernah menghabiskan waktunya selama berjam-jam, menghayal, bermimpi tentag eropa yang tunduk di bawah kakinya, sampai ditertawakan oleh orang-orang di sekelilingnya.
Dan yang terjadi adalah apa yang dibayangkannya beberapa tahun silam...

Dan sungguh, Allah Maha Mendengar, maka bisikkanlah mimpi-mimpi itu, saudaraku, dalam sujud-sujud panjang kita, di penghujung malam itu...

姿を捜して 長い坂をのぼる
どこで待ってるの 早くむかえに来て
ねえ声を聞かせて この手にまた触れて
ここで待ってるよ 桜のふる丘で。。。


















Kelak, bunga ini akan menjadi saksi, insya allah... Amin...

Saturday, July 9, 2011

Hanya Sebuah Catatan Sederhana, Tanpa Sebuah Nama

Ini masih soal mahasiswa yang tangannya kotor oleh tinta. Masih soal presiden yang terus saja menyuruh menangkap bendahara umum partainya, padahal mager doang. Dan masih soal rakyat yang tidak bisa membeli susu buat bayinya, tetapi bukan karena harga-harga yang tinggi, melainkan perang pendapat antara kemenkes dan IPB yang membuat kaum-kaum marginalis menjadi sangsi.

Ya sudahlah, toh banyak teman-temanku yang tidak ambil pusing dengan masalah-masalah diatas. Tapi, apa benar?

Tentu bukan 100%, karena teman-teman kastrat juga membahas masalah tersebut. Tetapi, tampaknya kasus Nazaruddin yang takut hartanya dikebiri, muktamar PPP yang dilangsungkan hari ini, serta isu politik mutakhir yang berkembang saat ini… banyak yang tidak peduli. Ya, benar! Ketika aparat penegak hukum menari di tengah rangkaian kata seperti yuridis formis, ad hoc, juncto, pidana, dan SUAP, rakyat sebenarnya telah berada pada titik kulminasi kebosanan yang segera memuntahkan kemarahan jika tidak ditangani dengan baik (sepertinya saya mengetahui pola kalimat yang terakhir…)

Ya, lupakan sajalah soal yurisdiksi dan seribu satu istilahnya yang seringkali membuat putusan hakim menjadi kontradiksi. Tapi, yang paling penting adalah…

Kenapa saya?

Ya, jika ada orang awam yang membaca tulisan diatas, mereka pasti menyangka bahwa saya adalah mahasiswa Fakultas Hukum, FISIP, atau sejenisnya. Ya… sungguh jawaban yang membuat hatiku miris, karena ketahuilah, bahwa saya adalah MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA!!!

Bengong?

Ya, tapi inilah saya. Saya hanya anak fakultas kedokteran yang bosan dengan nama-nama anatomis tubuh dan mencoba mencari pelampiasan dengan memaki-maki pemerintah dengan tulisan saya. Setidaknya, pelampiasan saya sedikit tidak waras, karena pemerintah yang tidak bersalah, bahkan tidak pernah mengenal saya, menjadi korban dari kemarahan yang sungguh tidak beralasan. Pemerintahku yang malang…

Tapi, tentu bukan itu saja, sahabatku. Jika disuruh memilih, menendang pintu kamarku atau memaki-maki pemerintah, jujur, aku lebih suka memilih opsi kedua. Kenapa? Butuh usaha ekstra (dan uang ekstra) untuk memperbaiki pintu kamar itu. Mahal…

Tapi (lagi), kenapa banyak sekali remaja-remaja di sinetron-sinetron yang mencampakkan kosmetiknya hanya karena tidak dibelikan sepeda? Padahal, kosmetik itu bisa dibeliin kerupuk lho…

Dan sekali lagi, lupakan sajalah soal humor-humor kering diatas. Toh saya juga tidak pandai melawak, dan tidak punya bakat sama sekali soal lawakan. Saya hanya mahasiswa biasa, tanpa prestasi luar biasa. Saya hanya orang kebanyakan, yang hanya berharap sebuah perubahan datang pada bangsa yang sudah muak dengan korupsi dan kelaparan. Ya, hanya manusia biasa, dengan ide-ide gila dan semangat yang luar biasa…

Dan jika ada orang yang bertanya, sampai kapan engkau terus seperti ini?

SAMPAI MATI!!!

Dan jika ada orang yang berargumen bahwa saya naïf, sah-sah saja. Jika ada yang beranggapan bahwa apa yang saya lakukan sia-sia, silahkan, karena UUD pasal 28E telah mengaturnya. Tetapi, jika ada yang bertanya,

Kenapa engkau memilih jalan ini?

Yups. Aku tahu, mustahil bagi para pemerintahku yang terhormat untuk membaca tulisan ini. tapi aku berharap, suatu saat, tulisanku dibaca oleh mereka. Dan aku berharap, mereka mau menerima sedikit masukan dariku, seorang mahasiswa biasa. Dan kelak, jika aku dihisab oleh Sang Maha Pencipta, aku hanya berharap, sedikit pahala mengalir dari jerih payah itu…

Jika aku masih bisa memberi, walaupun sedikit, untuk dunia ini, mengapa tidak?

Dan sungguh sederhana kan? Sejujurnya, aku tak pernah berniat menjadi menteri kesehatan. Aku memang sering disuruh menjadi anggota dewan, tapi aku tak sudi. Tak rela melihat jutaan rakyat menangis sia-sia hanya karena aku lupa memberikan tanda tangan pada rancangan undang-undang jaminan kesehatan. Apalagi presiden. Apalagi sekjen PBB. Aku hanya ingin melihat negeri ini kembali tersenyum, melihat orang-orang itu tak lagi meneteskan air mata hanya karena perut yang belum diisi sejak pagi…

Dan aku merindukan sebuah pertemuan di surga nanti. Ya, dimana tak ada lagi keluh kesah. Tak ada lagi penderitaan. Yang ada hanya cerita. Sebuah cerita tentang perjuangan. Sebuah cerita tentang darah dan air mata. Dan sebuah cerita, tentang sejuta cinta yang telah dijanjikan Allah kepada kita…

Dan sekarang, jika aku boleh bertanya…
Sudah siapkah diriku untuk menuju ke sana?





(hanya sebuah renungan)

Wednesday, June 29, 2011

13 Tahun Reformasi: Mau Dibawa Kemana Negeri Ini?

Reformasi. Sembilan huruf. Satu kata. Bisa diletakkan pada kalimat-kalimat yang bertujuan untuk menghina anggota dewan. Benar, hanya satu kata, tapi takkan cukup sebulan waktu kita untuk membahas satu kata itu.

Reformasi. Satu kata yang mengkristalisasi aspek perjuangan terpenting bangsa ini tiga belas tahun silam. Setidaknya darah para mahasiswa dan pemuda yang tewas ditembak pada tahun itu tidak sia-sia, karena jika tidak saya bahkan belum tentu bisa menulis di kolom ini. Tapi, andai Soe Hok Gie bangkit dari kuburnya, tentu ia akan merasa terasing sekali lagi, karena masih banyaknya agenda-agenda reformasi yang masih belum terjamah (baca: ditelantarkan) saat ini.

Secara ironis, jangankan agenda reformasi yang belum tuntas, penyelesaian kasus kekerasan saat reformasi saja belum menemui hasil yang pantas. Sebut saja korupsi, buruknya kinerja pemerintah, transparansi yang belum transparan, dan penyalahgunaan wewenang. Bahkan, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum reformasi saja masih belum memberikan hasil yang memuaskan.

Sebuah akhir, atau sebuah awal?

Menurut etiologi, reformasi sendiri berarti berubah. Secara halus, berarti perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara (KBBI). Jika kita menilik apa yang terjadi 13 tahun silam, penempatan kata “reformasi” mungkin sudah tepat. Namun, jika kita melihat kondisi yang terjadi saat ini, apakah penempatan kata “reformasi” masih relevan?

Reformasi ditandai dengan perubahan secara menyeluruh dalam waktu singkat. Hal ini dimanifestasikan dalam enam agenda: penegakan supremasi hukum; pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya; amandemen konstitusi; pencabutan dwifungsi TNI/Polri; serta pemberian otonomi daerah seluas- luasnya. Sayangnya, masih ada dua agenda yang belum tertuntaskan hingga saat ini, yakni penegakan supremasi hukum dan pemberantasan KKN. Bahkan, proses pengadilan kroni-kroni Soeharto pun seakan berjalan setengah hati.

Ironisnya, agenda ini justru dimanfaatkan sebagai propaganda dalam pemilihan presiden lima tahun silam. Reformasi seakan menjadi dagangan yang laris manis dalam menarik simpati rakyat. Bahkan, Indra J. Piliang dalam catatan kritisnya terhadap pemilu 2004 (Kursi RI-1 untuk Apa, Jenderal? Kompas) menyorot kembalinya elite politik dari kalangan militer. Lebih jauh, catatan itu juga mengkritisi pola pikir para jenderal yang masih terkungkung dalam batasan orde baru.

Menarik untuk dicermati, mengingat peran para tokoh tersebut saat ini (SBY dan Wiranto, red). SBY masih mencerminkan karakter ketika Soeharto lengser: tenang, main aman, dan seakan sangat berhati-hati dengan tindakan yang diambilnya. Wiranto pun sama saja: mencitrakan diri sebagai korban dalam reformasi ini. Yang menjadi masalah adalah jika para tokoh tersebut masih mengurung pemikirannya sendiri dengan konteks pikir orde baru, sedangkan tuntutan zaman mengharuskan pemikiran kritis sebagai salah satu solusi penyelesaian polemik bangsa. Dampaknya jika diuraikan satu per satu tentu akan banyak sekali.

Namun, dampak terbesar dari pola pikir itu adalah inkonsistensi pada cita-cita reformasi itu sendiri. Salah satu buktinya adalah politik pencitraan. Tak perlu dijelaskan soal ini. Yang jelas, pencitraan, yang jelas-jelas berorientasi pada pengakuan luar negeri dan perolehan simpati dari negara-negara adidaya, sedikit banyak akan memengaruhi agenda reformasi. Dengan pencitraan (yang notabene adalah penonjolan kinerja positif dari suatu pemerintahan), otomatis lingkup kerja pemerintah akan sangat terbatas dan tidak berani mengambil langkah-langkah tidak populer yang seharusnya bisa digunakan untuk tujuan reformasi. Pemerintah tidak akan berani menyidangkan kroni-kroni Soeharto jika itu berarti kehilangan pentas dalam panggung politik dan kehilangan kawan-kawan dalam koalisi.

Jadi, apakah reformasi itu adalah akhir dari kekuasaan orde baru, atau sebuah awal bagi dinasti politik selanjutnya (yang tetap membawa ciri khas orde baru)?

Introspeksi diri

Manusia itu unik, bahkan dari aspek perkembangannya saja. Pada masa awal kelahiran, kehidupan manusia sangat kritis; ia memerlukan bantuan dari orang-orang di sekelilingnya untuk bertahan hidup. Jika dibiarkan beberapa hari saja tanpa perlindungan, ia akan mati. Semakin dewasa, ia mulai belajar untuk mandiri dan berkembang sesuai apa yang ia terima sejak lahir. Dan ketika ia dewasa, kita bisa menyimpulkan dengan jelas, bagaimana perlakuan pada masa kritis sangat memengaruhi perkembangan mereka.

Demikian juga dengan reformasi. Apa yang terjadi sekarang adalah apa yang kita tanam 13 tahun silam. Tetapi, masih belum selesainya agenda reformasi yang digadang-gadang akan selesai beberapa tahun sebelumnya tentu bukan 100 persen kesalahan pemerintahan saat ini. bisa jadi karena kondisi yang tidak memungkinkan, seperti resesi ekonomi dunia, aksi teror, dan tekanan dari asing.

Walaupun demikian, alangkah baiknya jika setiap pihak mengintrospeksi diri mereka. Sering kita temui debat kusir yang hanya mementingkan kepentingan golongan atau partai tanpa mementingkan aspek terbesar yang ada di negeri ini: rakyat. Bangsa ini sudah terlalu muak dengan lelucon-lelucon khas Senayan, seperti gagalnya penyelesaian 70 RUU prioritas, pembangunan gedung, pengerdilan KPK yang justru dibuat untuk melaksanakan agenda reformasi terpenting, pemberantasan KKN. Rakyat juga harus berperan aktif dalam pengawasan kinerja pemerintahan yang notabene dipilih oleh mereka sendiri. Jangan sampai negara ini dibawa menuju kepentingan suatu kelompok hanya karena kurangnya pengawasan dari rakyat itu sendiri.

Akhirnya, selamat ulang tahun ke-13 reformasiku sayang, semoga semakin banyak anggota dewan yang bangun saat sidang, semakin banyak menteri yang sadar di mana mereka berdiri, dan semakin banyak pula pejabat yang tidak lagi makan uang rakyat. Amin…



Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Korespondensi bisa dilakukan via email ke laskar_jidad@yahoo.co.id

Tuesday, June 7, 2011

Small

Suatu ketika, hiduplah seorang pengemis yang sangat miskin. Ia tidak mempunyai apa-apa yang bisa dibanggakan selain baju yang melekat pada dirinya. Bahkan, untuk berjalan jauh pun ia tidak sanggup. Alhasil, di tengah keputusasaannya, ia berdoa kepada Tuhan untuk memperbaiki nasibnya. Saat tidur, ia diberi tahu untuk memberikan apa saja yang ia punya dengan ikhlas kepada setiap orang yang membutuhkanya. Sang pengemis tentu terkejut, karena ia bahkan tidak punya sesuatu untuk diberikan. Lantas, ia terbangun, dan melihat seikat kecil jerami dengan seekor tawon bermain-main diatasnya. Ia pun mengambil jerami itu dan berharap ia bisa memberikannya pada orang yang membutuhkan.

Lalu, ia pun berjalan. Kemudian, ia menemukan seorang anak kecil yang terus menangis. Ibunya tidak bisa menenangkannya. Lalu sang pengemis datang, memberikan jerami tadi kepada anak itu, dan ia pun berhenti menangis. Sang ibu yang sangat bahagia tidak bisa berucap apa-apa. Lantas, sang ibu pun memberinya beberapa tamarin (permen yang agak asam, berguna saat haus) dan berterima kasih kepadanya.

Sang pengemis yang kehilangan jerami kini punya beberapa tamarin. Ia bingung, karena ia sangat lapar, sementara ia harus memberi tamarin itu. Singkat cerita, ia bertemu dengan seorang saudagar yang kehausan, memberikan tamarin itu, dan sang saudagar yang kehausan itu memberinya selembar sutra yang amat indah. Ya, satu benda lagi untuk diberikan.

Lalu, ia pergi ke kota dan melihat seekor kuda yang akan dibunuh oleh majikannya. Merasa iba dengan perlakuan kejam ini, sang pengemis menawarkan selembar sutra tadi dan menukarkannya dengan kuda tadi. Karena kuda tadi tidak terlalu sehat, ia membawanya ke sungai dan berusaha keras untuk menyelamatkan jiwanya. Alhasil, beberapa waktu kemudian sang kuda telah cukup sehat dan bisa melakukan perjalanan jauh sebagaimana yang ia inginkan.

Ia berjalan dan terus berjalan dengan kuda itu. Di suatu tempat, ia melihat seseorang yang ingin melakukan perjalanan, tapi tidak memiliki kendaraan. Ia meminta agar pengemis tadi mau memberikan kudanya. Sang pengemis tentu sangat ragu, karena kuda ini begitu berharga dan perlu banyak pengorbanan untuk mendapatkannya. Tapi, salah satu sisi dari dirinya mengatakan, ia harus memberi kuda itu. Sang pengemis tadi akhirnya merelakan kudanya untuk diberikan pada musafir tadi, dan tahukah anda? Ya, sang musafir menawarkan kediamannya yang sangat mewah untuk ditempati sang pengemis tadi, karena ia akan melakukan perjalanan jauh yang mungkin tidak pernah lagi kembali ke tempat ini. Subhanallah…

***

Seikat jerami. Ya, hanya seikat jerami. Dan jika kita mau berpikir kritis, fabel One Straw Millionaire yang amat populer di Jepang ini hanya sebuah dongeng. Ya, hanya dongeng. Tak akan pernah jadi nyata dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dan suatu kebodohan jika kita percaya kepadanya…

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 261)

Dan siapa yang berani menjamin, bahwa ayat diatas hanya senda gurau belaka?

***

Ada salah satu quote yang sangat menarik dari salah satu anime favorit saya:

"There’s no need to save something as exaggerated as the entire world. But, if you can save someone dear to you, even a single person, then, that’s more than enough."

Tetapi, tentu, sebagai muslim yang baik, kita ingin lebih dari itu, bukan?

***

Terkadang kita selalu remeh akan hal-hal kecil yang ada di sekitar kita. Sehelai kertas yang ada di tengah jalan, batu yang mungkin akan sangat sakit jika tidak sengaja tersandung padanya, atau mungkin koin 500-an yang ada di tepi jalan. Ya, benar, sungguh remeh. Tidak bisa dibandingkan dengan jihad di Palestina, mendirikan khilafah, atau sekadar haji ke Baitullah. benar, memang remeh, apalagi jika dibandingkan dengan Bilal yang masuk surga karena wudhu’nya, seorang pembunuh 100 orang yang diampuni dosanya karena hanya berniat untuk taubat, atau seorang pelacur yang memberi minum seekor anjing, salah satu makhluk yang sangat najis hingga harus dicuci dengan tanah. Masya Allah…

Dan sekarang, dimanakah kita?

***

Kita kadang terlalu sombong untuk ini. terlalu nafi jika kita menganggap diri ini sudah sempurna, bahkan untuk hal-hal kecil tadi. Kita selalu terpaku dengan obsesi besar kita. Menjadi seorang dokter yang dikenal masyarakat, menjadi pemimpin bangsa ini, avant garde reformasi, atau lainnya. Tanpa pernah sadar, tak pernah sadar, betapa hinanya diri ini ketika memandang mereka. Kita terlalu silau dengan gemerlap ide-ide besar, hingga melupakan amalan-amalan kecil yang justru mengantarkan para sahabat ke tempat yang siapapun pasti akan merindukannya. Bahkan Allah tak segan mengambil perumpamaan seekor nyamuk atau laba-laba, padahal mereka sering kita anggap hina, tidak berguna, dan menyusahkan, padahal kita belum tentu bisa berdzikir seperti mereka.

Astaghfirullah… lupa dengan diri ini…



(sebuah renungan di akhir hari)

Sunday, June 5, 2011

Waktu

Sudah lama tidak menulis. Ya, benar. Seribu satu kesibukan telah melanda, hingga membuka blog ini saja sudah tidak sempat. Ya, jadi terpikir, inikah berharganya sebuah waktu?

Dan hanya mengingatkan saja

dengan waktu yang ada sat ini saja, kita sudah terlalu sibuk dengan dunia ini
lantas, bagaimana dengan bekal kita?

Ya, kita mungkin dengan mudah mengatakan, waktu untuk dunia saja tidak cukup, apalagi untuk akhirat...
tapi, ingatlah saudaraku...
kelak, jika sang waktu benar-benar telah meninggalkan kita...

ia akan menjadi saksi atas ucapan itu...
#muhasabah

Friday, April 15, 2011

Sekolah Pemimpin

HARI itu cerah. Mentari memancarkan sinarnya di pagi yang indah itu. Pagi itu semua orang memulai hari dengan biasa, tanpa menyadari ada sesuatu yang terjadi hari itu. Surat tertanda 1 April 2011 sepanjang empat paragraf yang dilayangkan langsung dari markas FIFA di Zurich, Swiss, tampaknya akan mengubah salah satu aspek yang melekat erat pada budaya bangsa ini. Ya, hanya empat paragraf, tetapi lebih dari empat kali artikel ini untuk menjelaskan semua esensi yang ada pada surat itu.

Surat itu adalah respons dari induk sepakbola tertinggi di dunia tentang kisruh yang melanda persepakbolaan Indonesia akhir-akhir ini. Dimulai dari ketidakpuasan masyarakat pada salah satu petinggi PSSI yang berniat maju kembali pada bursa pemilihan ketua umum periode selanjutnya, kekecewaan terhadap pelaksaanaan ISL yang dinilai amburadul dan tidak sesuai dengan cita-cita FIFA dan AFF tentang kemandirian. Kisruh itu berlanjut dengan lahirnya LPI sebagai tiang sepakbola profesional, dan terakhir, gagalnya kongres PSSI yang seharusnya dilangsungkan Maret 2011.

Hal-hal itu diperparah dengan tindakan para petinggi yang terkesan membohongi publik dan bertolak belakang dengan hal-hal yang diutarakan oleh FIFA, sehingga FIFA pun berinisiatif untuk menormalkan kembali atmosfer persepakbolaan Indonesia dengan membentuk sebuah komite normalisasi.

Jika kita melihat sekilas, tampaknya masalah ini sudah selesai. Tetapi, hal ini justru mencerminkan kerapuhan dari sistem pemerintahan di negara kita. Ada apa dengan pemimpin kita?

Benar sekali. Jelas sekali terlihat, ketika pemerintah dengan segala kekuatannya menekan PSSI, tidak ada pengaruh berarti yang bisa disaksikan, walaupun pemerintah telah berupaya keras untuk itu. Amat berbeda dengan tindakan FIFA yang langsung menyelesaikan masalah ini dengan satu surat saja. Memang, banyak faktor yang memengaruhi kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan kemelut PSSI, tetapi kerapuhan adalah salah satunya. Mengapa?

Bukan hanya di bidang sepakbola. Pada kasus terakhir seperti ditahannya kapal RI oleh bajak laut Somalia pun, pemerintah seakan tidak tanggap dengan kru ABK yang semakin kritis sejak disandera hampir sebulan yang lalu. Untuk kasus pelecehan kedaulatan jangan ditanya lagi. Seakan pemerintah tidak memiliki ketegasan dalam menyikapi berbagai kasus-kasus yang bisa berdampak signifikan bahkan untuk pemerintahan itu sendiri. Salah satu bukti yang jelas bisa dilihat dalam kasus penyelesaian Ahmadiyah yang terkesan ambigu. Hal ini jelas menimbulkan kekecewaan di berbagai daerah sehingga para kepala daerah pun berinisiatif untuk membuat perda tentang pembekuan Ahmadiyah di daerahnya.

Jika kita kembali menilik masalah PSSI, kita bisa melihat, betapa kuat tekanan yang dihasilkan oleh satu asosisasi saja. Apalagi lembaga-lembaga yang memiliki kekuatan hukum yang resmi dan bersifat mengikat, khususnya badan-badan yang ada di PBB (IMF atau DK, misalnya). Jika pemerintah terus bersikap seperti ini, bukannya tidak mungkin negara ini akan dipenuhi oleh keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh asing.

Apakah negara ini sedang mengalami krisis akut tentang pemimpin? Tidak, bahkan Indonesia seakan kelebihan stok untuk pemimpin itu, dan kita bisa melihatnya dalam bursa pilkada atau pemilu di daerah masing-masing. Yang kurang hanyalah soal kepemimpinan. Indonesia kekurangan figur yang mampu mengambil ketegasan dalam bertindak tanpa harus takut dengan segala ancaman dan tekanan yang ada di sekitarnya. Kita benar-benar kekurangan figur pemimpin yang mampu berpikir jernih dalam menyelesaikan masalah-masalah rumit yang ada sekarang ini.

Dan jelas, kita ingin setiap kebijakan yang ada di negara ini dihasilkan oleh pikiran putra-putri terbaik bangsa ini, bukan hasil negosiasi oleh pemimpin luar negeri. Jika pemerintah tidak juga mau bersikap tegas dalam setiap permasalahan, bukan tidak mungkin kita harus mendirikan sebuah sekolah tentang kepemimpinan untuk mendidik para calon pemimpin yang akan menggantikan mereka di masa depan.

Jadi bagaimana, pemerintahku yang terhormat?


 



Arief Kurniawan Jamal
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Catatan: tulisan ini juga dimuat dalam rubrik Suara Mahasiswa Okezone.com. Link: http://kampus.okezone.com/read/2011/04/15/367/446430/sekolah-pemimpin

Wednesday, April 6, 2011

Seindah Sore Ini

Saudaraku, jika engkau berada di sisiku sore ini, engkau akan melihat salah satu sore yang paling indah yang pernah engkau lihat. Engkau akan melihat kemilau mentari yang kembali ke peraduannya, gemersik dedaunan yang menari bersama lembutnya semilir angin, dan engkau juga akan melihat kawanan burung-burung yang terbang seiring terbenamnya matahari. Seakan tak pernah lelah mengejar mentari yang seolah acuh pada dunia, tak peduli dengan asa seorang anak yang terus ingin bersamanya. Ya, lebih tepatnya setiap orang, karena tak ada orang yang mungkin akan menolak indahnya sore ini.

Jika engkau berada bersamaku sore ini, akan kuajak engkau berlari, mengejar matahari sore ini. Kita akan meraih mimpi-mimpi, menggapai impian, terbang bersama harapan, dan merayakan kehidupan di ujung dunia ini. Tak ingin berhenti, walau waktu ingin kita selesai sampai disini. Ya, disinilah kita, bersama menikmati indahnya sore yang mungkin tak lagi bisa kita nikmati esok hari.

Saudaraku, betapa indah sore ini. Sebenarnya, aku tak ingin sore ini berakhir. Mengapa?
Karena belum tentu aku bisa menikmatinya esok hari.

Ya, bisa jadi inilah saat terakhir kita melihat matahari. Siapa tahu, dalam tidur kita, kita tidak bisa lagi membuka mata kita, dan itulah perpisahan kita dengan dunia ini. Kita hanya bisa mengenang saat-saat terakhir kita berada di sini, saat kita mengejar matahari, merasakan semilir angin, dan menikmati indahnya sore ini. Dan saat itu, kita tak lagi bisa merasakan hangatnya mentari itu. Tinggal kesendirian yang menemani dalam kesepian.

Dan teringat,
betapa banyak dosa ini.

Betapa banyak hari yang telah kita jalani, betapa banyak keindahan mentari yang telah kita nikmati, dan betapa banyak nikmat yang seharusnya telah kita syukuri. Dan saudaraku, apakah semua itu sepadan dengan rasa syukur kita? Apakah itu tercermin dalam tiap untaian doa dan tetesan air mata kita yang jatuh dalam sujud-sujud panjang kita? Saudaraku, terlalu munafik jika kita selalu berkata, aku selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita, sedangkan hari-hari kita masih terus diisi dengan kefuturan yang tak pernah lepas dari kita. Kita berbangga dengan anugerah, tetapi lupa menggunakannya di jalan-Nya, di jalan ini. terlalu nafi jika kita menganggap kita adalah hamba yang bersyukur, tapi hati kita jauh dari syukur itu…

Astaghfirullah…
Lupa dengan dosa ini…

Kelak, jika nikmat itu telah dicabut, dan betis kiri dan kanan telah bertaut, kita akan yakin, bahwa itulah perpisahan dengan dunia. Tak ada lagi sore hari, tak ada lagi angin yang berhembus, tak ada lagi kehangatan matahari, dan disinilah kita, termangu dalam kesendirian, menanti perhitungan semua amal yang telah kita lakukan dengan nikmat-Nya…

Dan di akhir sore ini, sepintas doa kuhaturkan,

“Ya Allah, pertemukanlah aku dengan mentari ini esok hari. Amin…”

(sebuah catatan kecil di akhir hari ini)

Saturday, March 19, 2011

Peran Lembaga Legislatif dalam Mitigasi Bencana di Indonesia

AKHIRNYA, tender gedung baru DPR resmi dibuka. Angka tender yang diajukan oleh DPR pun tidak main-main, mencapai Rp1,164 triliun, sudah termasuk dengan berbagai fasilitas yang terdapat di dalamnya. Sebuah gedung baru dengan tinggi 36 lantai akan segera meramaikan puncak langit Jakarta dalam dua tahun ini, dan yang paling unik, gedung ini dikhususkan untuk kalangan anggota dewan saja, tanpa boleh diakses publik yang notabene adalah habitat asli mereka, suatu komunitas yang memilih dan mengangkat nama mereka menjadi sesuatu yang terhormat: wakil rakyat.

Itulah sekelumit kisah yang mewarnai tajuk dan opini koran baru-baru ini. Dan proyek ini segera disambut dengan “penghormatan” yang sudah umum dilakukan untuk mereka: protes dan kecaman. Tak heran, mengingat opini ini sudah jauh-jauh hari tidak disukai oleh berbagai kalangan dan alasan kemiringan 7 derajat pun tampaknya sedikit tidak normal (sekadar membandingkan, menara Pisa di Italia hanya memiliki kemiringan 3 derajat). Belum lagi jika kita menelaah kinerja para anggota dewan yang mendapat nilai merah di tahun sebelumnya, seperti bobroknya penegakan hukum, gagalnya penyelesaian 70 RUU prioritas, hingga pelesiran para anggota dewan yang terhormat di tengah bencana yang menimpa negeri ini.

Mengingat bencana-bencana yang menimpa negeri ini, siapa yang masih ingat dengan ulah para anggota dewan yang silih berganti melakukan berbagai perjalanan dan studi banding ke luar negeri di saat banjir menimpa Wasior, tsunami meluluhlantakkan Mentawai, dan Merapi mengamuk di Yogyakarta. Ditambah dengan pernyataan keras salah seorang pejabat teras di DPR yang menyalahkan korban tsunami di Mentawai, DPR seakan menjadi menara gading yang tidak peduli lagi dengan asal muasalnya, dengan tanah airnya, dan harapan-harapan rakyat yang ada di bawahnya.

Sungguh ironi, terutama karena berita ini justru datang ketika salah satu negara di pelosok dunia sedang menghadapi bencana yang (juga secara ironis) pernah disinggung oleh pejabat teras DPR tersebut. Tsunami. Satu kata yang sama, bencana yang sama, dihadapi oleh negara yang juga biasa mengalaminya, tetapi memiliki respons yang berbeda. Jika kita biasa melihat pejabat teras itu menyalahkan korban tsunami karena tinggal di tepi pantai, kita tidak akan pernah bisa menemukannya pada “saudara tua” kita tersebut. Bahkan, pemerintahnyalah yang terkesan “bertanggung jawab” atas bencana tersebut, dan hal ini dibuktikan dengan sistem penanganan pascabencana yang layak diacungi jempol.

Masyarakat Jepang, di tengah penderitaannya, masih bisa memberi pelajaran pada dunia, bagaimana rasa persaudaraan masih mengisi relung hati mereka. Mereka masih bisa antre dalam mendapatkan jatah makanan dan air bersih yang terbatas. Mereka masih bisa mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang diri mereka sendiri yang juga membutuhkannya. Dan menariknya, budaya ini tidak berkembang di suatu negara yang melecehkan penduduk yang terkena tsunami itu, padahal masih berada pada rumpun budaya timur yang mengagungkan perilaku luhur. Ada apa gerangan?

Jika kita kembali melihat pada substansi yang paling dasar, sebenarnya budaya itu tidak hilang di Indonesia. Pada kehidupan sehari-hari saja misalnya, kita masih sering melihat seorang anak muda memberikan tempat duduknya pada seorang tua dan budaya memberi kepada mereka yang membutuhkan. Terlepas dari pemberitaan media akhir-akhir ini, kita masih bisa merasakan, budaya itu belum hilang!

Namun, mengapa keramahan itu seakan sirna ketika bencana menghadang?

Sistem penanganan bencanalah yang menjadi jawaban atas masalah ini. Indonesia dan Jepang sama-sama berada pada pertemuan lempeng benua yang tidak stabil dan mengakibatkan bencana menjadi sesuatu yang biasa terjadi di negara-negara itu. Hanya saja, pemerintah Jepang sangat peduli dengan ancaman rutin itu, sedangkan Indonesia masih terlalu sibuk dengan retaknya koalisi dan gedung baru anggota dewan tersebut. Jepang membangun sistem penanganan yang melibatkan seluruh unsur yang dilibatkan secara terpadu ketika menghadapi bencana. Karena proses penanganan ini dilakukan secara terpadu dengan sistem yang dirancang secara sempurna, otomatis tidak ada kepanikan berarti ketika gempa terjadi. Mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika bencana datang, sehingga kepanikan bisa diminimalisasi dan proses penanganan bisa berjalan dengan lancar. Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan kolaborasi menyeluruh, baik antara sistem pemerintahan sendiri maupun dengan rakyatnya.

Penanganan bencana membutuhkan suatu sistem terpadu yang dirumuskan dengan serius oleh lembaga legislatif suatu negara, karena lembaga eksekutif tidak bisa berjalan tanpa didasari aturan-aturan yang berlaku secara resmi, dalam hal ini dirumuskan oleh lembaga legislatif. Inilah perbedaan mendasar dan terpenting dari birokrasi mitigasi di Jepang dan Indonesia. Kekuasaan yudikatif pun diatur sedemikian rupa sehingga mampu memberi solusi atas rencana yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Amat berbeda di Indonesia di mana mereka masih sibuk berbicara mengenai koalisi partai, pembangunan gedung baru, dan agenda lain yang seharusnya bisa dikesampingkan karena tidak memberi pengaruh yang signifikan dalam membangun bangsa ini. Walaupun Indonesia telah memiliki UU no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, tidak ada satu pihak pun yang menganggap UU ini berarti sehingga membuat publik beropini untuk membuat UU mitigasi yang baru (Antara, 7 April 2010).

Pembuatan sistem terpadu itu memang tidak mudah, dan memerlukan usaha dan pengorbanan yang tidak sedikit dari berbagai elemen dalam kehidupan bangsa, bahkan mungkin saja “megaproyek” ini berhenti di tengah jalan. Namun rakyat Indonesia sudah rindu melihat DPR yang tidak saja memikirkan keselamatan pribadi karena kemiringan gedungnya, tetapi juga keselamatan rakyatnya yang tinggal di daerah yang rawan akan terjadinya bencana. Kami sudah rindu melihat pemerintahan yang tidak lagi menyalahkan alam ataupun rakyatnya ketika bencana menerpa. Dan terlebih lagi, kami rindu melihat pemerintah yang berdiri di garda depan dalam penanganan bencana, bukan ormas, apalagi parpol dan segudang kepentingan asing yang mengekor di belakangnya. Harapan kami padamu.

Arief Kurniawan Jamal
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2010

Catatan: tulisan ini juga dimuat dalam rubrik Suara Mahasiswa Okezone.com. Link: http://kampus.okezone.com/read/2011/03/18/367/436418/peran-lembaga-legislatif-dalam-mitigasi-bencana-di-indonesia

Wednesday, March 16, 2011

I'm Proud to Stand Alone!

Saya bangga dengan keyakinan saya! Saya bangga dengan ke-Islaman saya! Saya bangga, walaupun untuk itu saya harus berdiri sendiri di puncak karang penderitaan, melepaskan segala angan-angan, dan berhadapan dengan ujian yang menghadang di garis depan. Tapi, biarlah! Toh aku sudah berdiri dengan tegap di jalan ini, dan kalau mundur sama dengan mati, lebih baik kutantang ujian ini hingga raga ini tak lagi sanggup berdiri. Akan kutantang kefuturan, kuhabisi kezhaliman, kukalahkan kebathilan, dan kuhancurkan kemungkaran, jika itu berarti keridhaan Rabb-nya pada hambanya yang gugur ditelan zaman. Dan sekarang, disinilah aku berdiri…

Sering orang bertanya, mengapa aku mengambil jalan yang berkerikil tajam ini. kukatakan, dengan kerikil tajam yang memenuhi jalan ini, aku akan sadar bahwa perjalanan ini bukanlah perjalanan belaka dan sia-sia, dan aku akan lebih berhati-hati dalam mengarungi jalan ini. Jalan kehidupan. Dan aku tidak ingin salah melangkahi jalan yang penuh tipu daya dan kefatamorganaan. Belum saatnya aku merayakan kehidupan, karena jika aku merayakannya sebelum perjalanan ini usai, aku takut kaki ini akan semakin terluka karena tajamnya kerikil dan perjalanan ini pun akan sia-sia. Dan sekarang kuikrarkan, aku tak kan berhenti lagi, jika itu artinya kekalahan yang nyata!

Sering orang mencaciku sebagai orang yang bodoh. Kukatakan, aku ingin menjadi golongan mereka yang menerangi dunia dengan ihsan di pikirannya, iman di dadanya, dan islam pada jiwanya. Aku bangga menjadi bagian sejarah itu. Aku bangga bisa mengikuti Ibnu Sina yang menerangi dunia kedokteran dengan karya monumentalnya, walau aku harus rela bangun pukul 2 malam untuk bangun, bersujud kepada-Nya. Aku bangga bisa mengikuti jejak Al Khawarizm yang menemukan sistem aljabar, walaupun untuk itu aku harus rela menghafalkan Alquran di sela-sela kehidupanku sebagai mahasiswa untuk belajar. Dan aku rela menjadi seorang Ibnu Batutah yang menjadi penjelajah dunia terbesar hingga kini, walaupun untuk itu aku terpaksa menjauhi babi, khamar, wanita, dan segala perhiasan yang dititipkan pada dunia ini. Dan sejujurnya, aku lebih rela untuk mati di Palestina bersama saudara seimanku yang kucinta, jika itu berarti surga dan kemenangan yang nyata!

Ya, aku lebih rela menginjakkan kaki di karang tajam ini, jika itu berarti lebih banyak kebaikan yang bisa kuberikan untuk bumi ini. Jika tiap langkahku berarti satu harapan baru untuk anak-anak Afghan, aku siap. Jika tetesan keringat dan air mata perjuangan ini berarti satu asa baru untuk mereka yang kini dizhalimi di pelosok dunia sana, aku bersedia. Jika tumpahan darah ini berarti perdamaian dan kesejukan yang ada bersamanya, aku rela. Karena tiap tetes peluh dan darah ini tak akan terbuang percuma, ia akan terus menjadi saksi perjuangan dan benih harapan bagi mereka yang telah kehilangan tujuan.

Aku rela mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan gelombang ini, jika itu berarti aku bisa menemukan keajaiban-keajaiban baru yang ada pada Alquran-ku. Jika aku disuruh untuk memasuki hutan yang penuh dengan liku dan tujuan semu, aku siap, jika itu berarti aku bisa mengenalkan kepada dunia tentang emansipasi wanita yang ada pada agama ini. Jika aku bisa meneriakkan bahwa agama ini bukanlah teroris seperti yang mereka katakan, aku bersedia, walaupun aku harus kembali pada kesendirianku, pada keasingan, pada ketidaktahuan, pada penderitaanku…

Jika pada ujung jalan ini aku bisa merayakan kehidupan, setelah bertahun-tahun dengan butiran keringat, darah, dan air mata…
Aku siap…
Walaupun sekali lagi harus kuteriakkan…
I’m proud to stand alone!!!

Sebuah Renungan Kecil

Lucu ya...
Kalau kita selalu mengeluh akan beratnya beban ini...
Sedangkan bumi tidak pernah sekali pun protes akan gunung-gunung dan bebatuan yang ada di hamparannya...



Aneh ya...
Kalau kita selalu berharap kebaikan kita akan selalu dibalas...
Padahal mentari selalu setia memancarkan sinarnya untuk kita, tanpa sekalipun mengharap balas jasa...




Unik ya...
Kalau kita selalu menyesal telah dilahirkan...
Padahal rerumputan selalu berbahagia karena telah dilahirkan, karena mereka memberi kehijauan pada tanah yang gersang, walaupun untuk itu mereka rela untuk diinjak, dipangkas, atau dicabut hingga akar-akarnya...



Heran ya...
Kalau kita selalu merasa kekurangan...
Sedangkan saudara kita di Palestina saja selalu bersyukur atas kurma yang dimakannya hari ini...



Aneh ya...
Kalau kita surut melangkah karena kesedihan kita...
Namun hutan selalu optimis menumbuhkan pohon-pohonnya, walaupun ia tahu, pohon-pohonnya akan terus ditebang untuk memenuhi keserakahan perut manusia...



Alangkah lucunya...
Jika kita selalu merasa terpenjara dalam hidup ini...
Padahal burung dalam sangkar itu selalu bernyanyi untuk kita, tak peduli apapun keadaannya...



Alangkah nafinya...
Jika kita memandang remeh gemersik dedaunan yang mengganggu tidur siang kita...
Bahkan kita belum tentu bisa berdzikir seperti itu kepada-Nya...



Alangkah herannya...
Melihat mereka tak lagi dekat pada Rabb-nya...
Padahal jiwa mereka selalu dekat, bahkan lebih dekat dari urat lehernya, dan mereka tak pernah ingat akan hal itu...



Astaghfirullah...
Betapa banyak kita mengeluh dalam hidup ini...
Sedangkan alam selalu sabar, ikhlas dalam menjalani peran yang telah disuratkan kepada mereka...
Bumi menghampar, gunung menjulang, langit membentang, bintang bertaburan, membawa dzikir dari seluruh semesta...
Sedangkan kita hanya bisa duduk termangu di sini, lupa akan segalanya...



Astaghfirullah...
Lupa akan dosa ini...
Betapa banyak kita menyalahkan sesuatu atas dosa mereka...
Padahal dunia tak pernah murka atas setumpuk dosa yang kita lakukan pada mereka...

Astaghfirullah..
Betapa hinanya diri ini...
Melihat alam selalu ingat pada Rabb-nya...
Sedangkan kita...
Selalu terlupa dalam kesibukan dunia yang fana dan penuh fatamorgana...

Astaghfirullah...
Ampuni dosa ini, ya Allah...



Rabbana atina fid-dunya hasanatan wa fil 'akhirati hasanatan waqina 'adhaban-nar...
Amin...

Monday, March 14, 2011

Utopia in the Seaside

Saudaraku, bayangkan jika anda berada di tepi pantai, dengan hamparan pasir yang putih, langit biru yang cerah, semilir angin yang menyejukkan jiwa, dan luasnya lautan biru yang membentang di depan kita. Bayangkan jika alunan ombak lembut menggelitik kaki kita, matahari mulai terbenam ke peraduannya, dan malam harinya dihabiskan dengan membuat api unggun sembari menghabiskan waktu dengan gemerlapnya bintang-bintang yang menginspirasi hingga ke dalam hati. Bulan purnama bersinar terang di langit, dan anda melihat laut kini berwarna keperakan, dan bimasakti pun terlihat, menambah indah malam ini. Subhanallah...

Esok paginya, engkau pun terbangun, dan kembali mendapati dirimu di pantai itu. Engkau menghabiskan waktu lagi disana, dan engkau mulai menikmati hari-harimu dan memulai sebuah pengalaman baru. Darahmu mendesir ketika menemukan sebuah petualangan, dimana ada sebuah gua purba berusia ribuan tahun, penuh dengan stalaktit dan stalagmit yang menghiasi langit-langit gua, gemuruh sungai bawah tanah yang mengalir di bawahnya, dan ketika engkau menyusuri ujung dari gua ini, engkau menemukan sebuah relief masa lalu. Sebuah monolith yang diukir dengan sempurna, tetapi menceritakan sebuah kisah yang mengerikan. Bencana akan datang menghampirimu, menyadarkanmu. Dan engkau akan tersentak, bahwa engkau berada dalam mimpi, dalam sebuah utopia, dan engkau pasti akan kecewa. Bahwa semua itu palsu, palsu! Tidak lebih dari impian semu!

***

Saudaraku, engkau pasti pernah merasakan hal-hal seperti ini. Suatu ketika, engkau pasti memiliki impian seperti ini. Engkau membayangkan bahwa dirimu berada dalam impianmu, berada dalam pusaran mimpi, impian, dan harapan. Dan semilir angin sejenak akan membawamu melayang, tetapi segera jatuh begitu desiran itu hilang. Engkau segera akan berpikir, ah, tidak ada gunanya. Toh aku akan tetap seperti ini, terjebak di dunia ini, terbenam dalam kepalsuan setiap orang yang berdiri tepat di sampingku. Toh aku sudah ditakdirkan untuk menjadi seperti ini, mengikuti aluran waktu, dan lauh mahfudz telah mencatat semua yang akan terjadi di masa depan, bahkan sehelai daun pun tidak ada yang luput dari kuasa-Nya. Tapi, saudaraku...

Masih ingatkah ketika engkau mendapatkan seekor ulat bulu, padahal engkau mengharapkan seekor kupu-kupu cantik terbang menghiasi kamar indahmu? Masih ingatkah engkau ketika engkau mendapatkan sebuah kaktus berduri, walaupun engkau merengek meminta setangkai bunga yang segar? Engkau pasti akan berpikir, alangkah tidak adilnya. Engkau akan merasa semua menjadi palsu, penuh kebusukan. Engkau putus asa, melihat dunia begitu monokrom, dan keindahan laut yang diceritakan tadi menjadi hampa. Engkau merasa, takdir begitu kuat mencengkerammu, sehingga rasionalitas menjadi tak pantas, Allah pun menjadi sasaran kemarahanmu, kefuturan menghampiri, dan ghirahmu padam, terbenam bersama gelapnya malam...

Dan engkau pun akan melihat, kaktus itu berbunga, membawa jiwa serasa terbang ke surga, dan ulat itu bermetamorfosis, menjadi seekor kupu-kupu yang indah sekali...

Itu lah takdir yang kita sesali tadi. Kita selalu berharap yang kita inginkan, sedangkan Allah memberi apa yang kita butuhkan. Kita selalu berharap pantai tadi selalu menjadi bagian hidup kita, tetapi Allah menyadarkan kita bahwa itu hanya fatamorgana semata. Alangkah tidak adilnya. Tapi itulah rencana-Nya, indah pada waktunya. Walaupun sempat sedih dan kecewa, ingatlah, pantai itu akan selalu menjadi milik kita, dan semua impian itu akan menjadi indah pada waktunya, insya allah...

Dan saudaraku, ketika engkau merasa sedih dan kecewa...
Iingatlah, bahwa Ia sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan kita...

(dikutip dari taushiah seorang sahabat. syukran...)

Wednesday, March 9, 2011

Filosofi: Antara Langit dan Bumi

Aku merindukan ide-ide kebebasan! Aku ingin berlari bersama angin, melewati batas-batas mimpi, dan terbang dengan bebasnya, tanpa satu pun yang menghalangi!

Sayangnya, ada satu fakta yang membuatnya menjadi tidak mungkin.
Kita masih berada di bumi!

Mengapa?
Mengapa kita harus selalu terkurung di bumi ini? Alangkah tidak menyenangkan! Setiap hari kita hanya terpaku di sini, menyelesaikan rutinitas yang anehnya, selalu sama! Entah itu kuliah, jualan, belajar, sedikit jalan-jalan di akhir pekan... tak ada lagi. Minggu berganti, bulan dan tahun pun ikut berganti. Tak ada yang berubah. Tetap saja kita akan terpaku dengan rutinitas yang membosankan itu. Kita seakan terikat dengan bumi. Stick with it. Kita berjalan setiap hari, tanpa bisa melihat keindahan langit pagi karena takut akan terlambat, tidak dapat absen pagi. Siang harinya, kita pun terpaku pada istirahat siang kita yang amat sejenak, karena setumpuk tugas telah menunggu lagi untuk diselesaikan. Sore hari pun kita tidak bisa menikmati indahnya langit karena kita terlalu sibuk untuk bergegas pulang karena masih ada pekerjaan yang mesti diselesaikan hari ini dan kita pun terlupa untuk menikmati indahnya kemilau langit di malam hari. Bulan beredar, dan tak terasa mentari mulai memancarkan sinarnya. Satu lagi hari baru yang penuh dengan rutinitas yang membosankan...

Bahkan, kita terkadang tidak sadar tentang rutinitas ini . Kita bahkan lupa bahwa rutinitas itu adalah sebuah rutinitas. Kita terlalu sibuk untuk memikirkan itu semua, bukan? Bahkan, di sela-sela perjalanan kita, kita terlalu sibuk untuk mengucapkan syukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya yang telah diberikannya pada kita. Kita lupa akan dzikir burung-burung dan pepohonan di sekeliling kita... Lupa akan semilir angin yang bertiup menerpa raga ini, memberi kesejukan hingga ke dalam hati. Lupa segalanya.

Alangkah indahnya jika kita menjadi salah satu dari mereka. Kita akan berlari, terbang, menembus alam ini. Kita bebas menikmati indahnya mentari, semilir angin, dan birunya langit dan samudera. Sayangnya, keindahan alam itu seakan sirna karena ada satu hal yang membuat itu kembali gagal dinikmati dengan sempurna..

RUTINITAS!!!

Entah mengapa, kaki kita seakan tidak bisa lepas dari tanah ini. Sekali kita melepasnya, seketika itu juga bumi akan menariknya kembali. Hanya roket yang mampu melepaskan diri dari cengkeraman itu. Namun, apakah itu menyelesaikan masalah? Tidak, bahkan roket diciptakan hanya untuk mengantarkan manusia-manusia itu ke bulan, lalu ia akan hancur dengan segera. Masih banyak lagi kesibukan yang akan menunggu kita, kesibukan lagi, dan lagi. Rutinitas dan kesibukan agaknya telah menjadi sesuatu yang anehnya, akan membuat seseorang itu menjadi aneh jika tidak mendapatkannya. Aneh, memang.

Saudaraku, ingatkah engkau, bahwa dalam setiap kesulitan itu ada kemudahan? Mungkin kita pernah sedih dan kecewa atas rutinitas yang terus menerpa kehidupan kita. Bukan bermaksud mematahkan semangat atau apa, tetapi kebebasan hanya akan kita peroleh di langit. Memang, saat dimana amal kita dihisab, dan jembatan shirattal mustaqin telah dibentangkan, dan itulah kesibukan kita yang terakhir, insya allah. Lalu segala kesibukan yang pernah kita rasakan akan sirna, dan kesibukan yang baru akan segera hadir: menikmati kebebasan kita.

Tapi, jalan itu masih panjang. Dan bersyukurlah karena kita masih bisa menikmati semua kesibukan itu, karena apa? Kita masih bisa bersujud di akhir malam, menitikkan air mata, berharap akan suatu tempat dimana kebebasan itu akan datang menghampiri. Dan saudaraku...

ingatlah...
perjuangan ini masih panjang...
masih banyak yang harus kita lakukan...
apakah kita rela begitu saja...
melihat begitu banyak saudara kita yang menderita di luar sana?
menyaksikan banyak anak-anak Palestina yang dibantai oleh yahudi durjana?
dan bersenang-senang, sementara tetangga kita masih menderita karena kehabisan bekal untuk hidupnya...

Saudaraku, inilah mengapa bumi masih mencintai kita. Bumi bukan membenci kita karena membiarkan kita terus melekat bersamanya, membiarkan penderitaan terus menghampiri kita. Bumi melakukan itu karena ia ingin kita yang membuat untaian harapan untuk mereka, mereka yang tak tahu makan apa esok hari. Setelah itu, saudaraku...

bersiaplah..
karena kebebasan yang sesungguhnya akan datang
di suatu tempat dimana tidak ada lagi kesibukan berdatangan
tempat dimana kita akan merayakan kehidupan, setelah penderitaan bertahun-tahun dengan air mata dan perjuangan
menembus batas mimpi dan angan-angan
membuka cakrawala, mengais masa depan tanpa sesuatu yang gagal menjadi harapan
itulah dia, saudaraku
suatu tempat yang terus kita impikan di akhir waktu
dan tempat kita akan berkumpul kelak, setelah mengikis peradaban semu...

kumpulkan kelak ya Robb, di surga Mu...

(Post ke tiga. alhamdulillah..)